Khadafi membayar lunas janjinya. Saat diberitakan melarikan diri ke Nigeria, dia lantang membantah. Baginya, mati di Libya lebih terhormat.
Ia bersumpah untuk mati membela negara dan selalu mencerca serangan NATO yang membantu menggulingkan rezimnya.
Di bawah ini adalah reaksi dari para tokoh dunia atas kematiannya:
Sekjen PBB Ban Ki-moon
Hari ini menandai transisi bersejarah bagi Libya. Pada hari-hari mendatang, kita akan menyaksikan adegan perayaan serta kesedihan bagi mereka yang kehilangan begitu banyak. Sekarang adalah waktu untuk semua warga Libya untuk bersatu. Libya hanya dapat mewujudkan cita-cita masa depan dengan persatuan nasional dan rekonsiliasi. Pejuang di kedua belah pihak harus meletakkan senjata mereka dalam damai. Ini adalah waktu untuk penyembuhan dan membangun kembali, bukan untuk balas dendam.
Presiden AS Barack Obama
Selama empat dekade, rezim Khadafi memerintah rakyat Libya dengan tangan besi. Hak asasi manusia mereka tolak. Warga sipil ditahan, dipukuli, dan dibunuh. Kekayaan Libya disia-siakan dan teror digunakan sebagai senjata politik. Hari ini kita mengatakan bahwa rezim Khadafi telah berakhir.
Pimpinan Uni Eropa, Herman Van Rompuy
Kematian Khadafi menandai akhir dari sebuah era despotisme. Bahwa Khadafi tewas dalam serangan di Sirte, berarti mengakhiri juga represi yang menyebabkan orang-orang Libya menderita terlalu lama.
Perdana Menteri Inggris David Cameron
Orang-orang di Libya saat ini memiliki kesempatan yang lebih besar setelah ini. Mereka bisa membangun sendiri masa depan yang kuat dan demokratis.
Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi
Sekarang perang berakhir. Sic transit gloria mundi (lewatlah kemenangan di dunia)
Presiden Prancis Nicolas Sarkozy
Hilangnya Muammar Khadafi merupakan langkah maju yang besar dalam pertempuran lebih dari delapan bulan oleh orang-orang Libya untuk membebaskan diri dari rezim diktator dan kekerasan yang dikenakan pada mereka selama lebih dari 40 tahun.
Kanselir Jerman, Angela Merkel
Dengan ini, perang berdarah, yang dipimpin Khadafi terhadap rakyatnya sendiri, berakhir. Libya sekarang harus cepat mengambil langkah tegas, lebih jauh menuju demokrasi, dan membuat prestasi.
Senator AS, John McCain
Amerika Serikat, bersama dengan sekutu Eropa kami dan mitra Arab, sekarang harus memperdalam dukungan bagi rakyat Libya, karena mereka bekerja untuk membuat fase berikutnya dari revolusi demokratis. Mereka akan berhasil seperti perjuangan untuk membebaskan negara mereka.
Keith Ellison, Muslim pertama yang terpilih dalam Kongres AS
Libya aman sekarang, setelah kematian Khadafi dan dunia Arab sekarang bebas. Tetapi jangan pernah merayakan kematian seseorang, bahkan orang jahat sekalipun.
Tanggapan Zulfahmi
Innaalillaahi wainnaa ilaihi rajiuun.
Kegigihan Muammar Khadafi membangun dan mensejahterakan rakyat selama 42 tahun akan dikenang dan sangat dirindukan rakyat Libya, setelah jasadnya dikubur.
Alternatif model demokrasi dan tata negara yang dicontohkannya serta amal baktinya, akan mengantarkannya meraih ridha Allah (surga, amiin).
Kami akan mengenang bagaimana engkau berkarya bagi bangsamu walau orang kafir membenci.
Sejak 19-3-2011 NATO (khususnya Amerika Serikat, Inggris dan Prancis) terus-menerus menginvasi dan mengadu domba rakyat Libya.
Kita menunggu kedatangan azab Allah kepa NATO, khususnya Perancis.
Seorang saksi menyatakan sesaat sebelum shalat subuh pada hari Kamis 20-10-2011, Khadafi dikelilingi oleh beberapa lusin pengawal setia dan disertai oleh Abu Bakr Younis Jabr, kepala pasukannya yang turut tewas. Kaum revolusioner telah menguasai Sirte melalui pertempuran senjata yang sengit.
Khadafi, kemudian menuju barat dalam konvoi bersenjata 15 truk. Namun belum jauh berjalan, bom salah satu pesawat NATO menghantam konvoi dekat Sirte pada sekitar 08.30
Gerard Longuet, menteri pertahanan Perancis, kemudian menegaskan bahwa serangan [yang menghancurkan 15 truk dan menewaskan 50 orang Khadafi] dilakukan oleh angkatan udara Perancis.
Namun, Khadafi dan segelintir anak buahnya lolos dari kematian dan bersembunyi di dua pipa drainase. Di sinilah ia ditangkap.
Kitab Hijau
Buku Hijau merupakan catatan
refleksi dan aksi mengenai suatu revolusi sosial. Khadafi juga menjadi pelaku
revolusi sosial tersebut. Di dalam buku inilah konsep pemikiran sosialisme Khadafi
dituangkan. Ada tiga hal mendasar dalam konsepnya.
Khadafi lahir di tenda
Badui, di gurun pasir dekat Kota Sirte, pada 7 Juni 1942. Ayahnya berasal dari
suku kecil keturunan Barbar Arab, yaitu Khadafa. Nama Khadafi diambil dari nama
kampung tempat kelahirannya.
Ia merupakan anak bungsu dari keluarga miskin yang sering berpindah-pindah tempat atau nomaden. Ibunya seorang Yahudi yang mulai memeluk agama Islam sejak berusia sembilan tahun. Artinya, Khadafi merupakan seorang Yahudi menurut Judaisme.
Dia mengawali pendidikan sekolah dasar hingga menengah pertama di lingkungan madrasah tradisional. Kemudian, ia bersekolah di SMA Sebha di Fezzan dari 1956 hingga 1961.
Khadafi dan sekelompok kecil teman-temannya yang dia temui di sekolah ini, kemudian membentuk kepemimpinan utama dari sebuah kelompok revolusiner militan yang kelak merebut kekuasaan negara Libya. Tumbuh saat dunia Arab sedang bergolak, Khadafi cilik menyerap semua konflik itu ke otak kecilnya. Di Palestina, konflik berlarut-larut setelah Yahudi membentuk negara Israel pada 1948. Dia juga larut dalam gelora nasionalisme Arab yang diteriakkan pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser pada 1952.
Sejak menimba ilmu di madrasah, Khadafi kecil menaruh minat besar pada pelajaran sejarah. Usai menamatkan SMA, pada 1961 Khadafi dikeluarkan dari wilayah Sebha karena aktivitas politiknya. Ia pun meninggalkan Sebha dan melanjutkan kuliah di Universitas Libya, hingga sarjana muda pada 1963.
Khadafi muda menyadari tak cukup bekalnya untuk menggulingkan kekuasaan raja dan memiliki pengaruh jika dia tetap sebagai orang sipil. Ia pun mengikuti tes masuk ke Akademi Militer di Benghazi pada 1963. Ia lulus dan mulai menjalani pendidikan sebagai taruna militer. Di Libya pada saat itu, menjadi tentara adalah peluang emas untuk bisa memperbaiki taraf hidup bagi keluarga kurang mampu. Selama dalam lingkungan akademi militer, Khadafi membentuk sebuah kelompok rahasia yang bertujuan menjatuhkan monarki Libya yang pro-Barat.
Ia mengajak beberapa rekannya dalam kelompok rahasia tersebut. Begitu juga saat mengikuti pendidikan lanjutan militer di Inggris dan Yunani pada 1966, ia mempelajari ilmu politik.
Ia betul-betul terinspirasi dari Kolonel Gamal Abdul Nasser, seorang negarawan yang populer di Mesir, yang naik ke takhta kepresidenan dengan menganjurkan persatuan Arab dan menghujat Barat. Sebaliknya, ia membenci Raja Idris. Khadafi muda malu melihat negara Arab, yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, kalah perang dengan Israel di tiga front pada 1967.
Dia semakin geram karena Raja Idris hanya berpangku tangan melihat sesama bangsa Arab dipermalukan Israel dalam Perang Enam Hari. Di situ tekadnya kuat: menggulingkan Raja Idris. Ia pun bertekad mengganti sistem pemerintahan, yang memungkinkan rakyat mengatur dirinya sendiri dengan tanpa adanya lembaga legislatif ataupun eksekutif.
Ia merupakan anak bungsu dari keluarga miskin yang sering berpindah-pindah tempat atau nomaden. Ibunya seorang Yahudi yang mulai memeluk agama Islam sejak berusia sembilan tahun. Artinya, Khadafi merupakan seorang Yahudi menurut Judaisme.
Dia mengawali pendidikan sekolah dasar hingga menengah pertama di lingkungan madrasah tradisional. Kemudian, ia bersekolah di SMA Sebha di Fezzan dari 1956 hingga 1961.
Khadafi dan sekelompok kecil teman-temannya yang dia temui di sekolah ini, kemudian membentuk kepemimpinan utama dari sebuah kelompok revolusiner militan yang kelak merebut kekuasaan negara Libya. Tumbuh saat dunia Arab sedang bergolak, Khadafi cilik menyerap semua konflik itu ke otak kecilnya. Di Palestina, konflik berlarut-larut setelah Yahudi membentuk negara Israel pada 1948. Dia juga larut dalam gelora nasionalisme Arab yang diteriakkan pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser pada 1952.
Sejak menimba ilmu di madrasah, Khadafi kecil menaruh minat besar pada pelajaran sejarah. Usai menamatkan SMA, pada 1961 Khadafi dikeluarkan dari wilayah Sebha karena aktivitas politiknya. Ia pun meninggalkan Sebha dan melanjutkan kuliah di Universitas Libya, hingga sarjana muda pada 1963.
Khadafi muda menyadari tak cukup bekalnya untuk menggulingkan kekuasaan raja dan memiliki pengaruh jika dia tetap sebagai orang sipil. Ia pun mengikuti tes masuk ke Akademi Militer di Benghazi pada 1963. Ia lulus dan mulai menjalani pendidikan sebagai taruna militer. Di Libya pada saat itu, menjadi tentara adalah peluang emas untuk bisa memperbaiki taraf hidup bagi keluarga kurang mampu. Selama dalam lingkungan akademi militer, Khadafi membentuk sebuah kelompok rahasia yang bertujuan menjatuhkan monarki Libya yang pro-Barat.
Ia mengajak beberapa rekannya dalam kelompok rahasia tersebut. Begitu juga saat mengikuti pendidikan lanjutan militer di Inggris dan Yunani pada 1966, ia mempelajari ilmu politik.
Ia betul-betul terinspirasi dari Kolonel Gamal Abdul Nasser, seorang negarawan yang populer di Mesir, yang naik ke takhta kepresidenan dengan menganjurkan persatuan Arab dan menghujat Barat. Sebaliknya, ia membenci Raja Idris. Khadafi muda malu melihat negara Arab, yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, kalah perang dengan Israel di tiga front pada 1967.
Dia semakin geram karena Raja Idris hanya berpangku tangan melihat sesama bangsa Arab dipermalukan Israel dalam Perang Enam Hari. Di situ tekadnya kuat: menggulingkan Raja Idris. Ia pun bertekad mengganti sistem pemerintahan, yang memungkinkan rakyat mengatur dirinya sendiri dengan tanpa adanya lembaga legislatif ataupun eksekutif.
Pertama, demokrasi. Ia menolak sistem perwakilan yang diklaim sebagai bentuk
demokratisasi. Alasannya, kedaulatan rakyat tidak bisa dijalankan dengan
sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat hanya bisa dilakukan rakyat sendiri.
Karena itu, Khadafi menolak parlemen, partai, dan pemilihan umum atau
referendum.
Jalan keluarnya, menurut Khadafi, harus dibentuk kongres rakyat dan komite rakyat. Awalnya, suatu komunitas rakyat masing-masing membentuk kongres rakyat utama, lengkap dengan sekretariatnya. Sekretariat ini kemudian bersama-sama membentuk kongres rakyat. Maka, roda administrasi dijalankan lembaga ini yang bertanggung jawab pada kongres rakyat utama.
Kedua, Khadafi juga tidak sepakat dengan inti dari kapitalisme, yakni kepemilikan pribadi.
Alasannya, akan membuka peluang tak terbatas bagi individu untuk memuaskan kebutuhannya. Sehingga, akan terjadi eksploitasi manusia oleh manusia dalam masyarakat kapitalis. Khadafi lebih memilih memberikan tanggung jawab pemerataan kekayaan kepada rakyat.
Ketiga, untuk menghadapi penyakit-penyakit sosial, jawabannya terletak pada keluarga. Keluarga bagi Khadafi merupakan basis sosial utama bagi masyarakat. Negara sangat ditentukan oleh dinamika suatu keluarga, yang kemudian meluas dalam suku dan bangsa.
Lewat buku tersebut kita bisa menelaah secara langsung pokok-pokok pikiran seorang kolonel yang pernah melakukan kudeta di negerinya. Khadafi bisa dilihat sebagai sosok kontroversial sekaligus diktator di negerinya sendiri. Tetapi di sisi lain, ia juga sosok yang memberikan keadilan bagi rakyat Libya. Tentu saja jika dilihat dari konteks sejarah Libya di masa lalu saat rakyat terbelengu oleh monarki absolut yang dijalankan penguasa Raja Idris.
Membaca Khadafi tak bisa dilepaskan dari konflik Perang Dingin antara Blok Timur pimpinan Uni Soviet dan Blok Barat yang diarsiteki Amerika Serikat. Setelah berakhirnya Perang Dingin itu, Khadafi mencatatkan dirinya dalam lembaran sejarah dunia sebagai salah satu tokoh dunia yang berhasil menciptakan eksperimen sosialisme di negaranya. Ia layaknya Fidel Castro dan Che Guevara yang juga mempraktikkan sosialisme di Kuba atau Daniel Ortega di Nikaragua, berdasarkan tafsiran sosialismenya masing- masing.
The Green Book memberi persfektif lain seorang Khadafi. Ia ternyata seorang pemikir sosial yang berani memberikan pandangan lain terkait perubahan sosial, berani mengambil risiko sehingga terbuka ruang alternatif bagi rakyat.
Jalan keluarnya, menurut Khadafi, harus dibentuk kongres rakyat dan komite rakyat. Awalnya, suatu komunitas rakyat masing-masing membentuk kongres rakyat utama, lengkap dengan sekretariatnya. Sekretariat ini kemudian bersama-sama membentuk kongres rakyat. Maka, roda administrasi dijalankan lembaga ini yang bertanggung jawab pada kongres rakyat utama.
Kedua, Khadafi juga tidak sepakat dengan inti dari kapitalisme, yakni kepemilikan pribadi.
Alasannya, akan membuka peluang tak terbatas bagi individu untuk memuaskan kebutuhannya. Sehingga, akan terjadi eksploitasi manusia oleh manusia dalam masyarakat kapitalis. Khadafi lebih memilih memberikan tanggung jawab pemerataan kekayaan kepada rakyat.
Ketiga, untuk menghadapi penyakit-penyakit sosial, jawabannya terletak pada keluarga. Keluarga bagi Khadafi merupakan basis sosial utama bagi masyarakat. Negara sangat ditentukan oleh dinamika suatu keluarga, yang kemudian meluas dalam suku dan bangsa.
Lewat buku tersebut kita bisa menelaah secara langsung pokok-pokok pikiran seorang kolonel yang pernah melakukan kudeta di negerinya. Khadafi bisa dilihat sebagai sosok kontroversial sekaligus diktator di negerinya sendiri. Tetapi di sisi lain, ia juga sosok yang memberikan keadilan bagi rakyat Libya. Tentu saja jika dilihat dari konteks sejarah Libya di masa lalu saat rakyat terbelengu oleh monarki absolut yang dijalankan penguasa Raja Idris.
Membaca Khadafi tak bisa dilepaskan dari konflik Perang Dingin antara Blok Timur pimpinan Uni Soviet dan Blok Barat yang diarsiteki Amerika Serikat. Setelah berakhirnya Perang Dingin itu, Khadafi mencatatkan dirinya dalam lembaran sejarah dunia sebagai salah satu tokoh dunia yang berhasil menciptakan eksperimen sosialisme di negaranya. Ia layaknya Fidel Castro dan Che Guevara yang juga mempraktikkan sosialisme di Kuba atau Daniel Ortega di Nikaragua, berdasarkan tafsiran sosialismenya masing- masing.
The Green Book memberi persfektif lain seorang Khadafi. Ia ternyata seorang pemikir sosial yang berani memberikan pandangan lain terkait perubahan sosial, berani mengambil risiko sehingga terbuka ruang alternatif bagi rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar