Senin, 31 Oktober 2011

Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah

Sejarah Kerajaan Asahan dimulai dari penobatan raja pertama yang berlangsung meriah di sekitar kampung Tanjung. Peristiwa penabalan raja pertama kerajaan Asahan tersebut terjadi pada tanggal 27-12-1620, dan tanggal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai “Hari Jadi Kota Tanjung Balai” dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjung Balai Nomor : 4/DPRD/TB/1986 tanggal 25-11-1986.
Asal usul nama kota “Tanjung Balai” menurut cerita rakyat yang ada di Tanjung Balai bermula dari sebuah kampung yang ada di sekitar ujung tanjung di muara Sungai Silau dan aliran Sungai Asahan.
Lama kelamaan balai yang dibangun semakin ramai disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai bandar kecil tempat melintas orang–orang  yang ingin bepergian ke hulu Sungai Silau. Tampat itu kemudian dinamai “Kampung Tanjung” dan orang lazim menyebutnya balai  “di tanjung”.

Dalam catatan sejarah, Kerajaan Asahan pernah dipimpin oleh 8 orang raja,
1.      Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Anak dari Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Qahhar), Sultan Aceh ke-13 yang memerintah Aceh tahun 1537 – 1568, sementara ibunya adalah Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar “Marhum Mangkat di Jambu”. Pinang Awan terletak di Kabupaten Labuhan Batu. Sebelumnya, Aceh telah menaklukkan negeri-neeri kecil di pesisir Sumatera Utara dan di dalam salah satu pertempuran inilah Raja Pinang Awan terbunuh dan anaknya Siti Ungu dibawa ke Aceh dan menikah dengan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Qahhar. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dimakamkan di tangkahan Sitarak.
2.      Sultan Said Rahmat Syah bin Abdul Jalil Rahmat Syah
3.      Sultan Muhammad Mahrum Rahmat Syah bin Said  17..  - 1760
4.      Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah II bin Muhammad Mahrum  1760 - 1765
5.      Sultan Dewa Rahmat Syah bin Abdul Jalil Rahmat Syah II  1765 – 1805
6.      Sultan Musa Rahmat Syah bin Dewa  1805 – 1808
7.      Sultan Muhammad Ali Rahmat Syah bin Dewa  1808 – 1813
8.      Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah bin Muhammad Ali  1813 – 1859
9.      Sultan Ahmad Rahmat Syah bin Muhammad Husin  1859 – 1888
Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah (1813 – 1859) dan anaknya, Sultan Ahmad Rahmat Syah, Asahan merupakan kerajaan yang disegani di daerah antara Serdang dan Siak dan mempunyai pengaruh besar di Batu Bara, Bilah dan Panai. Di masa inilah terjadi pertembungan antara Belanda, Inggris dan Aceh di Asahan, karena Belanda dan Inggris masing-masing bersaing untuk meluaskan kekuasaan penjajahan dan perdagangan mereka di pesisir timur Sumatera sementara Aceh pun berkeras mempertahankan kedaulatannya di Asahan.
Tuntutan Belanda terhadap negeri-negeri di Pesisir Timur termasuk Asahan adalah berdasarkan Perjanjian Siak yang ditandatangani oleh Belanda dengan Kesultanan Siak pada 1 Februari 1858. Berdasarkan perjanjian itu, Siak diserahkan kepada Belanda termasuk daerah taklukannya seperti Asahan, Batu Bara, Serdang, Deli, Langkat dan Tamiang. Berdasar sejarah, hak Siak atas kerajaan-kerajaan ini adalah berdasarkan penyerangannya pada tahun 1791. Tetapi kenyataannya adalah kekuasaan Siak hanya sebatas nama saja dan tidak diakui oleh banyak pihak.
Pada saat Elisa Netscher dilantik sebagai Residen Belanda di Riau pada tahun 1861, Beliau mengutus seorang pembesar Minangkabau, Raja Burhanuddin, ke negeri-negeri ini untuk menilai keadaan. Beliau melaporkan kepada Netscher bahwa tidak ada kerajaan yang mau mengakui kedaulatan Siak.
Deli, Serdang dan Langkat masih di bawah pengaruh Aceh tetapi bersedia menerima perlindungan Belanda. Hanya Asahan dan negeri di bawah pengaruhnya: Batu Bara, Panai dan Bilah, yang tidak mau berhubungan dengan Siak dan Belanda.
Pada Agustus 1862, Elisa Netscher dan Pembantu Residen Belanda di Siak, Arnold, diiringi oleh pembesar-pembesar Siak mengunjungi negeri-negeri yang terlibat. Walaupun mengalami beberapa kesulitan, Netscher berhasil menundukkan Panai, Bilah, Kota Pinang, Serdang, Deli dan Langkat di bawah kekuasaan Belanda. Hanya Asahan saja yang tidak bersedia tunduk, bahkan di pantai Asahan dikibarkan bendera Inggris.
Tindakan Belanda ini mendapat tantangan yang keras dari pedagang-pedagang Inggris di Pulau Penang karena mempunyai hubungan perdagangan yang erat, di mana nilai ekspor lada, rotan dan barang lain dari Sumatera bernilai 150.000 Poundsterling pertahun.
Sebelumnya Sultan Asahan dan Raja Muda Asahan telah memberitahu Gubernur negeri-negeri Selat, yaitu Kolonel Cavenagh, perihal niat Belanda. Major Man, Resident Councillor di Pulau Penang, kemudian dikirim ke Deli, Serdang dan Langkat untuk mengawasi keadaan.
Sultan Ibrahim, Aceh, turut menentang tindakan Belanda ini. Karena seluruh pesisir timur Sumatera sampai ke Panai dan Bilah adalah daerah takluknya. Justru itu, angkatan perang Aceh dikirim ke Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara dan Asahan. Di Asahan dan Serdang angkatan perang Aceh disambut dengan baik. 
Sebagai balasan, pada tahun 1865, Belanda mengirim angkatan perangnya untuk menyerang Asahan, Serdang, Tamiang dan Batu Bara. Saat pasukan Belanda tiba di Asahan, Sultan Ahmad Rahmat Syah dan adik-adiknya, Tengku Muhammad Adil dan Tengku Pengeran Besar Muda, mundur ke daerah pedalaman.
Pada tahun 1868 Netscher kemudian mengangkat Tengku Naamal Allah, Yang Dipertuan Negeri Kualuh, menjadi pemangku Sultan Asahan dan melantik seorang Controleur Belanda sebagai penasehat. Namun kaum Batak tidak mau menyokong pemerintahannya dan menuntut kepulangan Sultan Ahmad Rahmat Syah.
Dari tahun 1868 sampai dengan 1886 Asahan diletakkan Netscher di bawah pentadbiran 4 orang pembesar Melayu.
Sultan Ahmad Rahmat Syah kemudian menyerah namun kaum Batak di pedalaman meneruskan perjuangan menentang Belanda. Pada tahun 1868 itu juga, Sultan Ahmad Rahmat Syah diasingkan Belanda ke Riau bersama adiknya, Tengku Muhammad Adil. Tengku Pengeran Besar Muda di asingkan ke Ambon.
Pak Netak, Raja Bandar Pulau di Hulu Asahan, mati semasa menentang Belanda pada tahun 1870. Perjuangan secara gerilya diteruskan, terutama pada tahun 1879 dan 1883.
Akhirnya pada tahun 1885, Belanda mengizinkan Sultan Ahmad Rahmat Syah pulang ke Asahan dengan syarat, beliau tidak boleh campur tangan mengenai politik. Beliau menandatangani perjanjian politik dengan Belanda (Akte Van Verband) pada 25 Maret 1886 di Bengkalis, lalu kembali memerintah Asahan dari 25 Maret 1886 sampai kemangkatannya 27 Juni 1888.
Di pihak Inggris, tantangan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di Pesisir Timur semakin lama semakin berkurang karena munculnya kekuatan-kekuatan besar yang baru seperti Perancis, Amerika Serikat, Jerman dan Italia yang masing-masing tertarik pula dengan Asia Tenggara. Inggris memandang lebih baik bekerjasama dengan Belanda. Lagi pula Belanda tengah melonggarkan dasar perdagangannya di Sumatera dan ini mendatangkan keuntungan kepada pedagang-pedagang Inggris di Pulau Penang dan Singapura.
Pada 2 Nopember 1871, Inggris menandatangani Perjanjian Sumatera dengan Belanda, isinya antara lain, Inggris membatalkan semua perlawanan terhadap Belanda di mana-mana daerah di Sumatera dan rakyat Inggris mempunyai hak berdagang yang sama dengan rakyat Belanda di Sumatera.

10.  Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah II bin Tengku Muhammad Adil 1888 - 1915
Sultan Muhammad Husin II
6 Oktober 1888, Tengku Ngah Tanjung ditabalkan menjadi Sultan Asahan ke-10 dengan gelar Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah II. Pelantikan ini dibuat berdasarkan wasiat saudara ayahnya, karena Sultan Ahmad Syah mangkat tanpa meninggalkan keturunan. Residen Belanda G. Scherer juga memberi persetujuan terhadap pelantikan ini.
Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Hussein II, langkah-langkah diambil untuk memajukan Asahan seperti menggalakkan Syarikat Eropa membuka perusahaan di Asahan untuk memberi peluang pekerjaan bagi penduduknya. Pada tahun 1908, beliau bersama dengan adik-adiknya, Tengku Alang Yahya dan Tengku Musa, berkunjung ke Belanda untuk menerima gelar “Ridder der Orde van den Nederlanschen Leeuw” dari Ratu Wilhelmina.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah II melantik Tengku Alang Yahya sebagai Bendahara dan mengangkat anak sulungnya, Tengku Amir, sebagai Tengku Besar Asahan atau calon Sultan. Tetapi Tengku Amir mangkat tahun 1913 maka diangkatlah Tengku Su'ibun sebagai gantinya pada 7 Juli 1915.
Sultan Muhammad Hussein Rahmat Syah II mangkat pada usia 53 tahun. 
Oleh karena Tengku Su'ibun masih kanak-kanak, Tengku Alang Yahya (bendahara) dilantik menjadi pemangku sultan dengan gelar Tengku Regent Negeri Asahan.
Semasa ia menjadi Tengku Regent ini, Beliau menerima dua anugerah, yaitu “Officier der Orde van Oranje Nassau” dan “Ridder der Orde van den Nederlanschen Leeuw”.

11.  Sultan Su'ibun Abdul Jalil Rahmat Syah bin Muhammad Husin II (1915 – 1980)
15 Juni 1933, Tengku Su'ibun ditabalkan menjadi Sultan Asahan XI dengan gelar Sultan Su'ibun Abdul Jalil Rahmat Syah di Istana Kota Raja Indra Sakti, Tanjung Balai. Isteri Beliau, Tengku Nurul Asikin binti Tengku Al Haji Rahmad Bedagai, ditabalkan sebagai Tengku Suri (Tengku Permaisuri) Negeri Asahan, pada 17 Juni 1933.
Pendudukan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang menjadi carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkan pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta sebagai Wakilnya.
Pemimpin-pemimpin pergerakan di Indonesia, mendaulat Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin tertinggi mereka, tetapi pada umumnya perkembangan revolusi di kebanyakan daerah di Sumatera Utara terlepas dari pergerakan di Jawa. Revolusi di Sumatera bermula pada Oktober 1945 pada saat tentara sekutu tiba di Sumatera untuk melucuti tentara Jepang.
Aktivis-aktivis pergerakan pada mulanya berperang dengan tentara Jepang yang sedang mundur untuk merebut senjata dan dengan tentara Inggris yang menduduki sebagian Kota Medan, Padang dan Palembang dan akhirnya dengan Belanda yang mengambil alih dari Tentara Inggris pada akhir tahun 1945

Revolusi Sosial 1946 dan berakhirnya Kesultanan Asahan
Dalam kemelut ini, keganasan dialihkan pula kepada golongan tradisional (Tengku dan Raja) yang selama ini dianggap oleh golongan petani, sebagai pro Belanda dan pro kolonial. Kebencian rakyat semakin meluap karena kebanyakan raja-raja itu tidak memberikan sokongan kepada pergerakan pro Republik (kecuali Sultan Siak), ditambah lagi tersebar pula kabar bahwa raja-raja itu telah menghubungi Belanda dengan harapan dapat memulihkan kembali kedudukan mereka.
Pergerakan anti kaum bangsawan kian merebak dan pemimpin republik tidak berkuasa menahannya. Dalam pada itu, beberapa pemimpin politik yang opportunis, dua diantaranya adalah Karim Marah Sutan dan Luat Siregar dari Partai Komunis Indonesia, menggunakan pergerakan anti kaum bangsawan ini sebagai landasan untuk memperkuat peta politiknya. Untuk mencapai tujuan ini, mereka membangkitkan sentimen rakyat, sampai akhirnya tercetuslah Revolusi Sosial di mana raja-raja dan keluarganya dibunuh beramai-ramai dengan kejam dan hartanya dirampas. Selain dari para bangsawan, para perusuh juga membunuh kalangan profesional yang berpendidikan barat, terutama mereka yang hidup mengikuti gaya hidup barat. Oleh karena itu, beberapa orang profesional berikut keluarganya juga turut dibunuh.
Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda.
Namun di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuk penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.
Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhan Batu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhan Batu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan sehingga tidak dapat dilindungi oleh pasukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa bergelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang). 
Di Asahan, sebagian besar keluarga raja dibunuh, namun Sultan Su'ibun selamat dan menyerahkan diri kepada Pemerintah Republik Indonesia di Pematang Siantar. Beliau mangkat 17 April 1980 di Medan dan dimakamkan di kompleks Masjid Raya Tanjung Balai.

Tengku dr Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmat Syah 
   12. Tengku dr Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmat Syah bin Sultan Su'ibun (1980 - sekarang)

Pertumbuhan dan perkembangan Kota Tanjung Balai sejak didirikan sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G. tanggal  27 Juni 1917 dengan Stbl. 1917 No. 284,  sebagai akibat dibukanya perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M., SIPEF, London Sumatera (Lonsum) dan lain-lain, maka Kota Tanjung Balai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting artinya bagi perkembangan perekonomian Belanda.
Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjung Balai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau di ekspor melalui pelabuhan Tanjung Balai.
Untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjung Balai antara lain:  kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kota Tanjung Balai.
Assisten Resident van Asahan berkedudukan di Tanjung Balai dan karena jabatannya bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad).
Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjung Balai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan.
Pada waktu Gementee Tanjung Balai didirikan atas Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 No. 284, luas wilayah Gementee Tanjung Balai adalah 106 Ha.
Atas persetujuan Bupati Asahan melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260 daerah-daerah yang dikeluarkan (menurut Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga menjadi seluas 200 Ha.
Dengan keluarnya Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1956, Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung Balai diganti dengan Kota Kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. U.P. 15 /2/3.
Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai.
Kepala Daerah yang pernah memimpin Kota Tanjung Balai sejak Tahun 1956 sampai sekarang :
1.    Dt Edwarsyah Syamsura   [ 1956 – 1958 ]
2.    Wan Wasmayuddin          [ 1958 – 1960 ]
3.    Zainal Abidin                  [ 1960 – 1965 ]
4.    Syaiful Alamsyah             [ 1965 – 1967 ]
5.    Anwar Idris                     [ 1967 – 1970 ]
6.    Patuan Naga Nasution       [ 1970 – 1975 ]
7.    H Bahrum Damanik           [ 1975 – 1980 ]
8.    Drs H Ibrahim Gani           [ 1980 – 1985 ]
9.    Ir H Marsyal Hutagalung   [ 1985 – 1990 ]
10.  Bachta Nizar Lubis, SH   [ 1990 – 1995 ]

11.  Drs H Abdul Muis Dalimunthe     [ 1995 – 2000 ]
dr Sutrisno Hadi, SpOG
12.  dr Sutrisno Hadi, SpOG  dan Mulkan Sinaga [2000-2005]
13.  dr Sutrisno Hadi, SpOG  dan Drs THAMRIN MUNTHE, Mhum [2005 – 2010]


14. Drs Thamrin Munthe, Mhum dan Rolel Harahap periode 7/2/2011 - 2016


Dari tahun ke tahun Kota Tanjung Balai terus berkembang, para pendatang dari berbagai tempat dengan tujuan untuk berdagang, kemudian menetap di Tanjung Balai, sehingga kota ini telah menjadi kota yang berpenduduk padat. 
Sebelum Kota Tanjung Balai diperluas dari hanya 199 Ha. (2 Km² ) menjadi 60 Km², kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per Km².
Akhirnya Kota Tanjung Balai diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya   Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, sehingga Kota Tanjung Balai terdiri dari 5 Kecamatan.
Berdasarkan SK. Gubsu No. 146.1/3372/SK/1993 tanggal 28 Oktober 1993 desa dan kelurahan telah dimekarkan menjadi bertambah 5 desa dan 7 kelurahan persiapan sehingga menjadi 19 desa dan 11 kelurahan di Kota Tanjung Balai.

Berdasarkan Perda No. 23 Tahun 2001 seluruh desa yang ada telah berubah status menjadi Kelurahan, sehingga Kota Tanjung Balai terdiri dari 30 Kelurahan.
Dengan keluarnya Peraturan Daerah Kota Tanjung Balai  Nomor 4 Tahun 2005 tanggal 4 Agustus 2005 tentang pembentukan Kecamatan Datuk Bandar Timur dan Nomor 3 Tahun 2006 tanggal 22 Pebruari 2006 tentang Pembentukan Kelurahan Pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka wilayah Kota Tanjung Balai menjadi 6 Kecamatan dan 31 Kelurahan. Adapun Kecamatan yang ada di Kota Tanjung Balai adalah sebagai berikut :
1.    Kecamatan Datuk Bandar.
2.    Kecamatan Datuk Bandar Timur.
3.    Kecamatan Tanjung Balai Selatan.
4.    Kecamatan Tanjung Balai Utara.
5.    Kecamatan Sei Tualang Raso.
6.    Kecamatan Teluk Nibung


Kota Tanjung Balai terletak di antara 2° 58' LU dan 99° 48' BT, dengan luas wilayah 60,529 Km² ( 6.052,9 Ha.) berada dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Asahan dengan batas-batas sebagai berikut:
1.    Sebelah Selatan dengan Kecamatan Simpang Empat.
2.    Sebelah Utara dengan Kecamatan Tanjung Balai.
3.    Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei Kepayang.
4.    Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang Empat.  

Tidak ada komentar: