Sejarah Kerajaan Asahan dimulai dari
penobatan raja pertama yang berlangsung meriah di sekitar kampung Tanjung.
Peristiwa penabalan raja pertama kerajaan Asahan tersebut terjadi pada tanggal
27-12-1620, dan tanggal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai “Hari Jadi Kota
Tanjung Balai” dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjung Balai Nomor : 4/DPRD/TB/1986
tanggal 25-11-1986.
9.
Sultan
Ahmad Rahmat Syah bin Muhammad Husin 1859 –
1888
10. Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah II bin Tengku Muhammad Adil 1888 - 1915
6 Oktober 1888, Tengku Ngah Tanjung ditabalkan menjadi Sultan Asahan ke-10
dengan gelar Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah II. Pelantikan ini dibuat
berdasarkan wasiat saudara ayahnya, karena Sultan Ahmad Syah mangkat tanpa
meninggalkan keturunan. Residen Belanda G. Scherer juga memberi persetujuan
terhadap pelantikan ini.
Di Asahan, sebagian besar keluarga raja
dibunuh, namun Sultan Su'ibun selamat dan menyerahkan diri kepada Pemerintah
Republik Indonesia di Pematang Siantar. Beliau mangkat 17 April 1980 di Medan dan
dimakamkan di kompleks Masjid Raya Tanjung Balai.
12. Tengku dr Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmat Syah bin Sultan Su'ibun (1980 - sekarang)
14. Drs Thamrin Munthe, Mhum dan Rolel Harahap periode 7/2/2011 - 2016
Asal usul nama kota “Tanjung Balai” menurut cerita
rakyat yang ada di Tanjung Balai bermula dari sebuah kampung yang ada di sekitar
ujung tanjung di muara Sungai Silau dan aliran Sungai Asahan.
Lama kelamaan balai yang dibangun semakin ramai
disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai bandar kecil tempat melintas
orang–orang yang ingin bepergian ke hulu Sungai Silau. Tampat itu
kemudian dinamai “Kampung Tanjung” dan orang lazim menyebutnya balai “di tanjung”.
Dalam catatan sejarah, Kerajaan Asahan pernah
dipimpin oleh 8 orang raja,
1. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Anak dari
Sultan Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat (Sultan Alaiddin Riayat Syah Al
Qahhar), Sultan Aceh ke-13 yang memerintah Aceh tahun 1537 – 1568, sementara
ibunya adalah Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang bergelar
“Marhum Mangkat di Jambu”. Pinang Awan terletak di Kabupaten Labuhan Batu.
Sebelumnya, Aceh telah menaklukkan negeri-neeri kecil di pesisir Sumatera Utara
dan di dalam salah satu pertempuran inilah Raja Pinang Awan terbunuh dan
anaknya Siti Ungu dibawa ke Aceh dan menikah dengan Sultan Alaiddin Riayat Syah
Al Qahhar. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dimakamkan di tangkahan Sitarak.
2. Sultan Said Rahmat Syah bin Abdul Jalil Rahmat Syah
3. Sultan Muhammad Mahrum Rahmat Syah bin Said 17.. -
1760
4. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah II bin
Muhammad Mahrum 1760 - 1765
5. Sultan Dewa Rahmat Syah bin Abdul Jalil Rahmat Syah
II 1765 – 1805
6. Sultan Musa Rahmat Syah bin Dewa 1805 – 1808
7. Sultan Muhammad Ali Rahmat Syah bin Dewa 1808 – 1813
8. Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah bin Muhammad
Ali 1813 – 1859
Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Husin Rahmat Syah (1813 – 1859) dan
anaknya, Sultan Ahmad Rahmat Syah, Asahan merupakan kerajaan yang disegani di daerah
antara Serdang dan Siak dan mempunyai pengaruh besar di Batu Bara, Bilah dan
Panai. Di masa inilah terjadi pertembungan antara Belanda, Inggris dan Aceh di
Asahan, karena Belanda dan Inggris masing-masing bersaing untuk meluaskan
kekuasaan penjajahan dan perdagangan mereka di pesisir timur Sumatera sementara
Aceh pun berkeras mempertahankan kedaulatannya di Asahan.
Tuntutan Belanda terhadap negeri-negeri
di Pesisir Timur termasuk Asahan adalah berdasarkan Perjanjian Siak yang
ditandatangani oleh Belanda dengan Kesultanan Siak pada 1 Februari 1858.
Berdasarkan perjanjian itu, Siak diserahkan kepada Belanda termasuk daerah
taklukannya seperti Asahan, Batu Bara, Serdang, Deli, Langkat dan Tamiang.
Berdasar sejarah, hak Siak atas kerajaan-kerajaan ini adalah berdasarkan
penyerangannya pada tahun 1791. Tetapi kenyataannya adalah kekuasaan Siak hanya
sebatas nama saja dan tidak diakui oleh banyak pihak.
Pada saat Elisa Netscher dilantik sebagai Residen Belanda di Riau pada
tahun 1861, Beliau mengutus seorang pembesar Minangkabau, Raja Burhanuddin, ke
negeri-negeri ini untuk menilai keadaan. Beliau melaporkan kepada Netscher
bahwa tidak ada kerajaan yang mau mengakui kedaulatan Siak.
Deli, Serdang dan Langkat masih di bawah pengaruh Aceh tetapi bersedia
menerima perlindungan Belanda. Hanya Asahan dan negeri di bawah pengaruhnya:
Batu Bara, Panai dan Bilah, yang tidak mau berhubungan dengan Siak dan Belanda.
Pada Agustus 1862, Elisa Netscher dan
Pembantu Residen Belanda di Siak, Arnold, diiringi oleh pembesar-pembesar Siak
mengunjungi negeri-negeri yang terlibat. Walaupun mengalami beberapa kesulitan,
Netscher berhasil menundukkan Panai, Bilah, Kota Pinang, Serdang, Deli dan
Langkat di bawah kekuasaan Belanda. Hanya Asahan saja yang tidak bersedia
tunduk, bahkan di pantai Asahan dikibarkan bendera Inggris.
Tindakan Belanda ini mendapat tantangan yang
keras dari pedagang-pedagang Inggris di Pulau Penang karena mempunyai
hubungan perdagangan yang erat, di mana nilai ekspor lada, rotan dan barang
lain dari Sumatera bernilai 150.000 Poundsterling pertahun.
Sebelumnya Sultan Asahan dan Raja Muda Asahan telah memberitahu
Gubernur negeri-negeri Selat, yaitu Kolonel Cavenagh, perihal niat Belanda.
Major Man, Resident Councillor di Pulau Penang, kemudian dikirim ke Deli,
Serdang dan Langkat untuk mengawasi keadaan.
Sultan Ibrahim, Aceh, turut menentang
tindakan Belanda ini. Karena seluruh pesisir timur Sumatera sampai ke Panai dan
Bilah adalah daerah takluknya. Justru itu, angkatan perang Aceh dikirim ke
Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara dan Asahan. Di Asahan dan Serdang
angkatan perang Aceh disambut dengan baik.
Sebagai balasan, pada tahun 1865, Belanda mengirim angkatan perangnya untuk menyerang Asahan, Serdang, Tamiang dan Batu Bara. Saat pasukan Belanda tiba di Asahan, Sultan Ahmad Rahmat Syah dan adik-adiknya, Tengku Muhammad Adil dan Tengku Pengeran Besar Muda, mundur ke daerah pedalaman.
Sebagai balasan, pada tahun 1865, Belanda mengirim angkatan perangnya untuk menyerang Asahan, Serdang, Tamiang dan Batu Bara. Saat pasukan Belanda tiba di Asahan, Sultan Ahmad Rahmat Syah dan adik-adiknya, Tengku Muhammad Adil dan Tengku Pengeran Besar Muda, mundur ke daerah pedalaman.
Pada tahun 1868 Netscher kemudian
mengangkat Tengku Naamal Allah, Yang Dipertuan Negeri Kualuh, menjadi pemangku
Sultan Asahan dan melantik seorang Controleur Belanda sebagai penasehat. Namun
kaum Batak tidak mau menyokong pemerintahannya dan menuntut kepulangan Sultan
Ahmad Rahmat Syah.
Dari tahun 1868 sampai dengan 1886 Asahan diletakkan Netscher di bawah
pentadbiran 4 orang pembesar Melayu.
Sultan Ahmad Rahmat Syah kemudian menyerah namun kaum Batak di pedalaman
meneruskan perjuangan menentang Belanda. Pada tahun 1868 itu juga, Sultan
Ahmad Rahmat Syah diasingkan Belanda ke Riau bersama adiknya, Tengku Muhammad Adil.
Tengku Pengeran Besar Muda di asingkan ke Ambon.
Pak Netak, Raja Bandar Pulau di Hulu Asahan, mati semasa menentang
Belanda pada tahun 1870. Perjuangan secara gerilya diteruskan, terutama pada
tahun 1879 dan 1883.
Akhirnya pada tahun 1885, Belanda mengizinkan Sultan Ahmad Rahmat Syah pulang
ke Asahan dengan syarat, beliau tidak boleh campur tangan mengenai politik.
Beliau menandatangani perjanjian politik dengan Belanda (Akte Van Verband) pada
25 Maret 1886 di Bengkalis, lalu kembali memerintah Asahan dari 25 Maret 1886
sampai kemangkatannya 27 Juni 1888.
Di pihak Inggris, tantangan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di Pesisir Timur semakin lama semakin berkurang
karena munculnya kekuatan-kekuatan besar yang baru seperti Perancis, Amerika
Serikat, Jerman dan Italia yang masing-masing tertarik pula dengan Asia
Tenggara. Inggris memandang lebih baik bekerjasama dengan Belanda. Lagi pula
Belanda tengah melonggarkan dasar perdagangannya di Sumatera dan ini
mendatangkan keuntungan kepada pedagang-pedagang Inggris di Pulau Penang dan
Singapura.
Pada 2 Nopember 1871, Inggris menandatangani Perjanjian Sumatera
dengan Belanda, isinya antara lain, Inggris membatalkan semua perlawanan
terhadap Belanda di mana-mana daerah di Sumatera dan rakyat Inggris mempunyai
hak berdagang yang sama dengan rakyat Belanda di Sumatera.
Sultan Muhammad Husin II |
Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Hussein II, langkah-langkah
diambil untuk memajukan Asahan seperti menggalakkan Syarikat Eropa membuka
perusahaan di Asahan untuk memberi peluang pekerjaan bagi penduduknya. Pada
tahun 1908, beliau bersama dengan adik-adiknya, Tengku Alang Yahya dan Tengku
Musa, berkunjung ke Belanda untuk menerima gelar “Ridder der Orde van den
Nederlanschen Leeuw” dari Ratu Wilhelmina.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Muhammad
Husin Rahmat Syah II melantik Tengku Alang Yahya sebagai Bendahara dan
mengangkat anak sulungnya, Tengku Amir, sebagai Tengku Besar Asahan atau calon
Sultan. Tetapi Tengku Amir mangkat tahun 1913 maka diangkatlah Tengku Su'ibun
sebagai gantinya pada 7 Juli 1915.
Sultan Muhammad Hussein Rahmat Syah II
mangkat pada usia 53 tahun.
Oleh karena Tengku Su'ibun masih kanak-kanak, Tengku Alang Yahya (bendahara) dilantik menjadi pemangku sultan dengan gelar Tengku Regent Negeri Asahan.
Oleh karena Tengku Su'ibun masih kanak-kanak, Tengku Alang Yahya (bendahara) dilantik menjadi pemangku sultan dengan gelar Tengku Regent Negeri Asahan.
Semasa ia menjadi Tengku Regent ini, Beliau menerima dua anugerah,
yaitu “Officier der Orde van Oranje Nassau” dan “Ridder der Orde van den
Nederlanschen Leeuw”.
11. Sultan Su'ibun Abdul Jalil Rahmat Syah bin Muhammad Husin II (1915 – 1980)
15 Juni 1933, Tengku Su'ibun ditabalkan menjadi Sultan Asahan XI dengan
gelar Sultan Su'ibun Abdul Jalil Rahmat Syah di Istana Kota Raja Indra Sakti,
Tanjung Balai. Isteri Beliau, Tengku Nurul Asikin binti Tengku Al Haji Rahmad
Bedagai, ditabalkan sebagai Tengku Suri (Tengku Permaisuri) Negeri Asahan, pada
17 Juni 1933.
Pendudukan Jepang di Indonesia sejak
Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang menjadi carut-marut. Tiga
hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkan pemerintah Republik Indonesia
dengan Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta sebagai Wakilnya.
Pemimpin-pemimpin pergerakan di
Indonesia, mendaulat Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin tertinggi mereka,
tetapi pada umumnya perkembangan revolusi di kebanyakan daerah di Sumatera
Utara terlepas dari pergerakan di Jawa. Revolusi di Sumatera bermula pada
Oktober 1945 pada saat tentara sekutu tiba di Sumatera untuk melucuti tentara
Jepang.
Aktivis-aktivis pergerakan pada mulanya
berperang dengan tentara Jepang yang sedang mundur untuk merebut senjata dan
dengan tentara Inggris yang menduduki sebagian Kota Medan, Padang dan Palembang
dan akhirnya dengan Belanda yang mengambil alih dari Tentara Inggris pada akhir
tahun 1945
Revolusi Sosial 1946 dan berakhirnya
Kesultanan Asahan
Dalam kemelut ini, keganasan dialihkan
pula kepada golongan tradisional (Tengku dan Raja) yang selama ini dianggap
oleh golongan petani, sebagai pro Belanda dan pro kolonial. Kebencian rakyat semakin
meluap karena kebanyakan raja-raja itu tidak memberikan sokongan kepada
pergerakan pro Republik (kecuali Sultan Siak), ditambah lagi tersebar pula
kabar bahwa raja-raja itu telah menghubungi Belanda dengan harapan dapat
memulihkan kembali kedudukan mereka.
Pergerakan anti kaum bangsawan kian
merebak dan pemimpin republik tidak berkuasa menahannya. Dalam pada itu,
beberapa pemimpin politik yang opportunis, dua diantaranya adalah Karim Marah Sutan dan Luat Siregar dari Partai Komunis Indonesia, menggunakan pergerakan anti kaum
bangsawan ini sebagai landasan untuk memperkuat peta politiknya. Untuk mencapai
tujuan ini, mereka membangkitkan sentimen rakyat, sampai akhirnya tercetuslah
Revolusi Sosial di mana raja-raja dan keluarganya dibunuh beramai-ramai dengan
kejam dan hartanya dirampas. Selain dari para bangsawan, para perusuh juga
membunuh kalangan profesional yang berpendidikan barat, terutama mereka yang
hidup mengikuti gaya hidup barat. Oleh karena itu, beberapa orang profesional
berikut keluarganya juga turut dibunuh.
Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang
terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan
untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang
keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda.
Namun di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan
rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuk penyair besar Indonesia, Tengku
Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.
Keganasan yang paling dahsyat terjadi
pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhan Batu
seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhan Batu, daerah yang paling jauh
dengan Kota Medan sehingga tidak dapat dilindungi oleh pasukan sekutu. Istana
raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al
Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud
Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa bergelar Yang Dipertuan Besar
Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).
Tengku dr Kamal Abraham Abdul Jalil Rahmat Syah |
Pertumbuhan dan perkembangan Kota Tanjung
Balai sejak didirikan sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G. tanggal
27 Juni 1917 dengan Stbl. 1917 No. 284, sebagai akibat dibukanya
perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti
H.A.P.M., SIPEF, London Sumatera (Lonsum) dan lain-lain, maka Kota Tanjung
Balai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting
artinya bagi perkembangan perekonomian Belanda.
Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan
dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjung Balai, maka hasil-hasil dari
perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau di ekspor melalui pelabuhan Tanjung
Balai.
Untuk memperlancar kegiatan perkebunan,
maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjung Balai
antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij
dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap
di kota Tanjung Balai.
Assisten Resident van Asahan berkedudukan
di Tanjung Balai dan karena jabatannya bertindak sebagai Walikota dan Ketua
Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad).
Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjung Balai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan.
Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident, Tanjung Balai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan.
Pada waktu Gementee Tanjung Balai didirikan atas
Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 No. 284, luas wilayah Gementee Tanjung Balai
adalah 106 Ha.
Atas persetujuan Bupati Asahan melalui
maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260 daerah-daerah yang dikeluarkan (menurut
Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga menjadi seluas 200
Ha.
Dengan keluarnya Undang-Undang Darurat No. 9 tahun
1956, Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjung Balai diganti dengan
Kota Kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan
berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. U.P. 15
/2/3.
Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957
nama Kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai.
Kepala Daerah yang pernah memimpin Kota Tanjung Balai
sejak Tahun 1956 sampai sekarang :
1. Dt Edwarsyah Syamsura [ 1956 – 1958 ]
2. Wan Wasmayuddin [ 1958 – 1960 ]
3. Zainal Abidin [ 1960 – 1965 ]
4. Syaiful Alamsyah [ 1965 – 1967 ]
5. Anwar Idris [ 1967 – 1970 ]
6. Patuan Naga Nasution [ 1970 – 1975 ]
7. H Bahrum Damanik [ 1975 – 1980 ]
8. Drs H Ibrahim Gani [ 1980 – 1985 ]
9. Ir H Marsyal Hutagalung [ 1985 – 1990 ]
10. Bachta Nizar Lubis, SH [ 1990 – 1995 ]
11. Drs H Abdul Muis Dalimunthe [ 1995 – 2000 ]
12. dr Sutrisno Hadi, SpOG dan Mulkan Sinaga [2000-2005]
1. Dt Edwarsyah Syamsura [ 1956 – 1958 ]
2. Wan Wasmayuddin [ 1958 – 1960 ]
3. Zainal Abidin [ 1960 – 1965 ]
4. Syaiful Alamsyah [ 1965 – 1967 ]
5. Anwar Idris [ 1967 – 1970 ]
6. Patuan Naga Nasution [ 1970 – 1975 ]
7. H Bahrum Damanik [ 1975 – 1980 ]
8. Drs H Ibrahim Gani [ 1980 – 1985 ]
9. Ir H Marsyal Hutagalung [ 1985 – 1990 ]
10. Bachta Nizar Lubis, SH [ 1990 – 1995 ]
11. Drs H Abdul Muis Dalimunthe [ 1995 – 2000 ]
dr Sutrisno Hadi, SpOG |
14. Drs Thamrin Munthe, Mhum dan Rolel Harahap periode 7/2/2011 - 2016
Dari tahun ke tahun Kota Tanjung Balai
terus berkembang, para pendatang dari berbagai tempat dengan tujuan untuk
berdagang, kemudian menetap di Tanjung Balai, sehingga kota ini telah menjadi
kota yang berpenduduk padat.
Sebelum Kota Tanjung Balai diperluas dari hanya 199 Ha. (2 Km² ) menjadi 60 Km², kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per Km².
Akhirnya Kota Tanjung Balai diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, sehingga Kota Tanjung Balai terdiri dari 5 Kecamatan.
Berdasarkan SK. Gubsu No. 146.1/3372/SK/1993 tanggal 28 Oktober 1993 desa dan kelurahan telah dimekarkan menjadi bertambah 5 desa dan 7 kelurahan persiapan sehingga menjadi 19 desa dan 11 kelurahan di Kota Tanjung Balai.
Sebelum Kota Tanjung Balai diperluas dari hanya 199 Ha. (2 Km² ) menjadi 60 Km², kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per Km².
Akhirnya Kota Tanjung Balai diperluas menjadi ± 60 Km² dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan, sehingga Kota Tanjung Balai terdiri dari 5 Kecamatan.
Berdasarkan SK. Gubsu No. 146.1/3372/SK/1993 tanggal 28 Oktober 1993 desa dan kelurahan telah dimekarkan menjadi bertambah 5 desa dan 7 kelurahan persiapan sehingga menjadi 19 desa dan 11 kelurahan di Kota Tanjung Balai.
Berdasarkan Perda No. 23 Tahun 2001
seluruh desa yang ada telah berubah status menjadi Kelurahan, sehingga Kota Tanjung Balai terdiri dari 30 Kelurahan.
Dengan keluarnya Peraturan Daerah Kota Tanjung Balai Nomor 4 Tahun 2005 tanggal 4 Agustus 2005 tentang pembentukan Kecamatan Datuk Bandar Timur dan Nomor 3 Tahun 2006 tanggal 22 Pebruari 2006 tentang Pembentukan Kelurahan Pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka wilayah Kota Tanjung Balai menjadi 6 Kecamatan dan 31 Kelurahan. Adapun Kecamatan yang ada di Kota Tanjung Balai adalah sebagai berikut :
1. Kecamatan Datuk Bandar.
2. Kecamatan Datuk Bandar Timur.
3. Kecamatan Tanjung Balai Selatan.
4. Kecamatan Tanjung Balai Utara.
5. Kecamatan Sei Tualang Raso.
6. Kecamatan Teluk Nibung
Kota Tanjung Balai terletak di antara 2° 58' LU dan 99° 48' BT, dengan luas wilayah 60,529 Km² ( 6.052,9 Ha.) berada dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Asahan dengan batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Simpang Empat.
2. Sebelah Utara dengan Kecamatan Tanjung Balai.
3. Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei Kepayang.
4. Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang Empat.
Dengan keluarnya Peraturan Daerah Kota Tanjung Balai Nomor 4 Tahun 2005 tanggal 4 Agustus 2005 tentang pembentukan Kecamatan Datuk Bandar Timur dan Nomor 3 Tahun 2006 tanggal 22 Pebruari 2006 tentang Pembentukan Kelurahan Pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka wilayah Kota Tanjung Balai menjadi 6 Kecamatan dan 31 Kelurahan. Adapun Kecamatan yang ada di Kota Tanjung Balai adalah sebagai berikut :
1. Kecamatan Datuk Bandar.
2. Kecamatan Datuk Bandar Timur.
3. Kecamatan Tanjung Balai Selatan.
4. Kecamatan Tanjung Balai Utara.
5. Kecamatan Sei Tualang Raso.
6. Kecamatan Teluk Nibung
Kota Tanjung Balai terletak di antara 2° 58' LU dan 99° 48' BT, dengan luas wilayah 60,529 Km² ( 6.052,9 Ha.) berada dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Asahan dengan batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Simpang Empat.
2. Sebelah Utara dengan Kecamatan Tanjung Balai.
3. Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei Kepayang.
4. Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang Empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar