Minggu, 20 Maret 2011

Libya Diserang, Mesir Referendum Amandemen Konstitusi Sabtu 19-3-2011

Transkrip surat pemimpin Libya Muammar Khadafy kepada para pemimpin dunia dipublikasikan. Dalam suratnya kepada Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, Khadafy mengatakan kalau dirinya selalu mecintai Obama meskipun negaranya diserang. Berikut ini isi surat Khadafy kepada Obama:
Kepada anak kami, yang terhormat Barack Hussein Obama,
"Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahkan jika, Tuhan melarang, ada perang antara Libya dan Amerika, anda akan tetap menjadi anakku dan saya akan selalu mencintaimu. Saya tidak ingin mengubah citra, yang saya dapat darimu. Semua rakyat Libya bersama saya, siap untuk mati, bahkan perempuan dan anak-anak. Kami akan berperang bahkan tanpa Al Qaeda, yang mereka sebut Islam Maghreb.
Ini adalah kelompok bersenjata yang berjuang dari Libya ke Mauritania dan juga Ajazair dan Mali... Jika anda menemukan mereka yang mengambil alih kota Amerika dengan kekuatan bersenjata, katakan apa yang akan anda lakukan?"

Surat Pemimpin Libya Muammar Khadafy tidak hanya disampaikan kepada Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, tetapi juga kepada pemimpin negara yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Barrack Hussein Obama dan Nicolas Sarkozy mengamati Mayara Tavares
(gadis 16 tahun) pada acara pertemuan G-8
David Cameroon dan Ban Ki-Moon bertemu 2-2-2011
Kepada Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon. Berikut adalah transkrip surat Khadafy yang dipublikasikan ke media.

Libya bukanlah milik kamu. Libya adalah milik  rakyat Libya. Resolusi Dewan Kemanan PBB tidak sah karena tidak mengikuti piagam internal negara manapun. Ini adalah penindasan dan agresi kotor.

Anda tidak memiliki hak untuk mengintervensi urusan dalam negeri kami. Siapa yang memberikan anda hak?. Anda akan menyesal jika Anda berani untuk campur tangan di negara kami. Negara kami bukan negara Anda. Kita tidak akan mengeluarkan peluru kepada rakyat kami.

Amerika Serikat, Inggris dan Prancis Sabtu (19/3/2011 lalu telah melancarkan serangan dari udara dan laut terhadap pasukan Khadafy berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk memaksakan gencatan senjata dalam pertikaian sebulan lamanya antara pendukung setia dan pemberontak.
Moammar Khadafy pemimpin Libya
Hosni Mubarak mundur 11-2-2011
Serangan udara oleh pasukan Barat dekat kota Misrata di Libya telah menghantam sebuah pangkalan udara militer. Tempat para pendukung setia Muammar Khadafy bermarkas. 

Pangkalan itu berada tujuh kilometer dari kota Misrata. Kota tersebut merupakan kota terbesar ketiga Libya dan tempat bertahan terakhir pemberontak di bagian barat negara itu.

Televisi pemerintah Libya melaporkan 48 orang tewas dan 150 lainnya cedera akibat serangan udara yang dilakukan pesawat-pesawat sekutu pada Sabtu (19/3/2011).  Serangan udara dan  laut menghantam sasaran-sasaran di sepanjang pantai Libya, untuk mendesak pasukan Moammar Khadafy agar melakukan gencatan senjata dan menghentikan serangan terhadap penduduk sipil. Stasiun televisi CBS News di laman internetnya, Minggu (20/3/2011) menyebutkan  tiga pembom siluman  AS B-2 menjatuhkan 40 bom di suatu "lapangan udara penting" Libya.
    
Pesawat-pesawat tempur Prancis melancarkan serangan pertama menghancurkan tank-tank dan kendaraan-kendaraan lapis baja di daerah Benghazi, pangkalan pasukan perlawanan di Libya timur. Beberapa jam kemudian kapal-kapal perang Amerika Serikat dan Inggris menembakkan 110 rudal Tomahawk ke lokasi-lokasi pertahanan udara di sekitar ibu kota Tripoli dan kota Misrata di daerah barat, yang dikuasai pasukan Khadafy, kata para pejabat militer AS. Diberitakan, pasukan sekutu yang terdiri dari AS, Inggris, Perancis, dan Italia tergabung dalam operasi "Pengembaraan Fajar".
    
Bereaksi atas serangan tersebut, Khadafy menyerukan perlawanan. "Kini perlu mengeluarkan perbekalan dan mempesenjatai seluruh rakyat dengan semua jenis senjata untuk mempertahankan kemerdekaan, persatuan dan kehormatan Libya," katanya dalam pesan audio yang disiarkan televisi pemerintah beberapa jam setelah serangan-serangan itu dimulai.
  
Kesalahan fatal telah diulangi pemberontak Libya, persis seperti kesalahan rakyat Irak berkomplot dengan AS, Inggris dan Perancis menghancurkan negaranya sendiri dan menggulingkan pemimpinnya Saddam Hussein. Rakyat Libya akan menyesali kebodohan ini sama seperti rakyat Irak, yang jatuh miskin dan hancur berantakan hingga kini.



Khadafy berkuasa melalui kudeta militer menggulingkan Raja Idris I pada tahun 1969. Ia menuding raja hanya sebagai boneka kolonial Eropa Barat, korup, dan mengabadikan feodalisme. Sejak itu Libya berubah menjadi republik dan Dewan Komando Revolusi membawahkan pemerintahan.

Saat itu usia Khadafy baru 27 tahun dan menyandang pangkat kapten angkatan darat. Setelah kudeta, pangkatnya naik menjadi kolonel hingga sekarang.

Dalam usia semuda itu, Khadafy mengultimatum AS menutup pangkalan militernya, Wheelus Air Base, dekat Tripoli. Seluruh fasilitas harus diserahkan kepada Libya. Wheelus Air Base, salah satu pangkalan udara terbesar AS di negara lain, ditutup tahun 1970.

Langkah berikutnya, Khadafy menasionalisasi perusahaan minyak asing. Dari pendapatan 1,6 juta-2 juta barrel per hari minyak mentah, pembangunan melaju pesat. Negara yang tadinya melarat dan tertinggal berubah menjadi sejahtera. Indeks pembangunan manusia dan usia harapan hidup di negeri ini tercatat sebagai tertinggi di Afrika.

Tahun lalu pendapatan per kapita 6,5 juta penduduk Libya berkisar 14.800 dollar AS. Walaupun sedemikian kaya, negara tetap berkewajiban menyediakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara gratis.

Diperkirakan, sekitar 2 juta pekerja asing mencari nafkah di negeri ini. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta berasal dari Mesir dan puluhan ribu orang dari Eropa, AS, China, dan Jepang. Selebihnya dari Tunisia, Banglades, dan negara-negara Afrika.

Setelah pecah pemberontakan bersenjata, Februari lalu, hampir semua pekerja asing menyelamatkan diri meninggalkan Libya. Produksi minyak melorot menjadi 600.000 barrel per hari.
Kini keadaan di Libya makin tak menentu. Inggris dan Perancis, yang sejak lama mengincar minyak Libya, menghendaki kekuasaan Khadafy berakhir. Atau minimal membelah negara kaya itu melalui pemberlakuan zona larangan terbang.

Khadafy merasa lebih nyaman tidur di tenda-tenda Beduin. Ia tidak bergantung pada kekuatan asing dan tidak mempunyai jabatan resmi dalam struktur pemerintahan, kecuali sebagai ”pemimpin revolusi”.

Gagasannya tentang pemerintahan rakyat telah ditulis dalam 3 jilid buku hijau, dipraktikkan di Libya. Dalam hal ini, roda pemerintahan dijalankan oleh komite-komite rakyat setempat. Merekalah yang mengatur dan merencanakan segalanya.

Tiga tahun lalu Khadafy menyatakan niatnya membubarkan struktur administratif yang berjalan. Kemudian pendapatan dari minyak langsung didistribusikan kepada rakyat.

Daniel L Byman, pakar senior di Saban Center for Middle East Policy, Inggris, menulis di Council for Foreign Relations (2/3), seandainya pun Khadafy mundur, penggantinya akan menghadapi segunung masalah, yakni membangun institusi pemerintah dan negara dari nol.

Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin pada Senin mengutuk resolusi PBB, yang memungkinkan tindakan invasi di Libya sebagai "seruan perang salib pada abad pertengahan" dan mengecam Washington untuk kesiapannya memamerkan kekuatan. Ini merupakan pernyataan paling kerasnya terhadap Barat dalam beberapa tahun belakangan, orang secara nyata nomor satu di Rusia itu mengatakan tidak ada nalar atau nurani pada tindakan invasi tersebut.


Referendum Amandemen konstitusi Mesir
Pada hari Sabtu 19/3/2011 ini pula, rakyat Mesir tengah menggunakan hak pilihnya pada referendum  untuk mengamandemen konstitusi Mesir. Ini merupakan perwujudan demokrasi pertama pada era setelah Husni Mubarak mundur 11-2-2011.

Lebih dari 45 juta warga berusia di atas 18 tahun pemilik hak suara mencoblos untuk menentukan "ya" atau "tidak" menyangkut amandemen. 

Untuk memudahkan jalannya pelaksanaan referendum, pemilik hak suara hanya menunjukkan kartu tanda penduduk saat mencoblos.

Komite Referendum menyiapkan lebih dari 50.000 tempat pemungutan suara di seantero Mesir dan berlangsung selama sembilan jam mulai pukul 8.00 hingga 19.00 waktu setempat atau pukul 13.00-24.00 WIB.

Menurut Komite Referendum, sekitar 38.000 tentara dikerahkan untuk membantu polisi mengamankan referendum, di samping 17.000 hakim sebagai pengawas jalannya referendum.

Referendum tersebut diadakan oleh Dewan Tertinggi Militer selaku penguasa sementara setelah mengambilalih kekuasaan dari presiden terguling Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011.

Dewan Militer pada bulan lalu membekukan konstitusi dan membentuk komite terdiri atas ahli hukum dan politik untuk mengajukan perubahan beberapa pasal guna menjamin pemilihan umum jujur dan transparan.

Amandemen juga mencakup pengurangan masa jabatan presiden dari 6 tahun menjadi 4 tahun, serta membatasi seorang presiden hanya boleh menjabat 2 periode saja.
Diatur pula bahwa presiden terpilih dapat menunjuk wakil presiden dalam waktu 60 hari setelah dilantik.

Beda Pandangan
Ikhwanul Muslimin, oposisi utama yang menggerakkan revolusi, mendukung referendum karena dinilainya dapat meratakan jalan bagi reformasi politik.

Adapun beberapa kalangan pro revolusi seperti Kefaya, Kelompok 6 April, Kelompok Koalisi Revolusi 25 Januari dan Partai Al Wafd menolak referendum karena menilainya sebagai upaya melucuti revolusi.
Antrian pemilih Mesir di Tempat Pemungutan Suara, referendum amandemen konstitusi 19-3-2011 
Dua tokoh bakal kandidat presiden, yakni Mohamed ElBaradei dan Amr Moussa juga mengkampanyekan penolakan referendum.

Kelompok penolak menghendaki agar konstutusi itu tidak sekedar amandemen tetapi diwujudkan satu konstitusi yang benar-benar baru.

Bila referendum menyatakan "tidak" yang terbanyak, maka Dewan Tinggi Militer yang berkuasa akan mengeluarkan dekrit konstitusi sebagai Piagam Nasional sementara, hingga terlaksananya pemilihan parlemen dan presiden.

Di sisi lain, umat Kristen, yang menempati sekitar 10 persen dari total 80 juta penduduk, menyatakan keberatan dengan Pasal 2 Konstitusi yang menyebutkan bahwa Islam merupakan agama negara dan hukum Islam sebagai sumber utama perundang-undangan.




Perkiraan awal 60 % pemilih Mesir menggunakan hak pilih, dan 70 % memberikan suara 'ya', 4 % suara tidak sah dan 26 % memberikan suara 'tidak'," kata sumber pengadilan  kepada kantor berita Reuters 21-3-2011.

Tidak ada komentar: