Senin, 24 Januari 2011

Heboh Kebohongan

Tidak ada yang istimewa pada bangunan berlantai dua yang terletak di Jalan Tebet Dalam II Nomor 6 Tebet, Jakarta Selatan, itu. Hanya saja, sebuah spanduk bertuliskan 'Rumah Pengaduan Kebohongan Publik' memberikan kesan berbeda pada rumah bercat putih yang terapit di antara dua rumah penduduk lainnya.

Ya, Rumah Kebohongan. Label inilah yang baru saja disematkan pada Maarif Institute bentukan mantan ketua umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, LSM yang bergerak di bidang kebudayaan dan kemanusiaan. Dua pekan terakhir, kata kebohongan bergulir menjadi gempita politik yang menggema di media massa.
Syafi'i Ma'arif: Keistimewaan Yogyakarta Tak Perlu Diganggu
Adalah para tokoh lintas agama, dimotori oleh Syafii Maarif dan tokoh Nahdlatul Ulama Salahuddin Wahid, yang memantik gempita tersebut melalui deklarasi bersama tentang 18 kebohongan pemerintah. Para pemuka berbagai agama di Indonesia itu menyatakan bahwa pemerintahan sekarang banyak melakukan kebohongan publik. Bohong dalam hal ini diartikan tidak sejalannya antara kata dan perbuatan, lebih banyak janji pembangunan yang tak dipenuhi.
Ibas: Stop Polemik RUU Keistimewaan DIY
Pihak Istana yang menjadi sasaran tudingan kebohongan itu mencoba menetralisasi ‘serangan’ tersebut dengan menggelar dialog bersama para tokoh lintas agama di Istana Negara, Senin (17/1) pekan lalu. Seakan ditantang untuk membuktikan pernyataannya, para tokoh lintas agama kemudian membentuk Rumah Kebohongan pascadialog di Istana Negara itu
Din Syamsuddin
Rumah Kebohongan sejatinya disediakan bagi masyarakat luas untuk melaporkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah selama ini. Namun tak seperti kantor polisi atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang buka 24 jam setiap hari tanpa mengenal libur, Rumah Kebohongan ternyata hanya buka di hari kerja (Senin-Jumat).

Saat Republika mendatangi sejumlah Rumah Kebohongan yang sudah terbentuk di Jakarta, Sabtu (22/1), tak ada aktivitas khusus yang dilakukan para pegiat Rumah Kebohongan. Di Maarif Institute, Republika hanya menemui Agus, petugas keamanan lembaga itu. ''Kalau Sabtu-Minggu kita memang libur. Kalau mau mengadu (kebohongan) atau perlu ketemu pengurus, datang saja ke sini Senin,'' kata Agus.

Alih-alih menemukan masyarakat yang ingin mengadu soal kebohongan pemerintah, Republika hanya menemukan keriuhan aktivitas syuting film 'Si Anak Kampung' yang tengah diproduksi Maarif Institute.

Sebelum masuk hari libur, Agus menerangkan, sudah banyak orang melaporkan kebohongan pemerintah ke Rumah Kebohongan Maarif Institute. Tapi Agus tak bisa memberikan penjelasan lebih jauh terkait laporan tersebut. ''Saya kan hanya satpam, nggak berani omong banyak. Saya tahunya sudah banyak orang datang kasih laporan,'' ucap Agus.

Kondisi serupa dijumpai Republika di kantor Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Rumah Kebohongan IMM terletak di lantai empat gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Hanya ada seorang pengurus IMM bernama Yisu yang sedang berada di Rumah Kebohongan itu. Yisu pun menerangkan jika laporan tentang kebohongan pemerintah bisa diterima pada hari kerja. ''Tapi kalau mau titip laporan sekarang juga bisa sih,'' kata Yisu.

Dia melanjutkan, IMM mewajibkan setiap pelapor menyertakan bukti-bukti menyangkut hal-hal yang dianggap sebagai kebohongan pemerintah. Kalau pelapor membutuhkan bantuan untuk melengkapi laporan mereka, kata Yisu, IMM siap memberikan bantuan. ''Kita tidak ingin laporan itu fitnah, jadi harus dengan bukti-bukti pendukung yang valid.''

Yisu menjelaskan, sejak dibentuk melalui deklarasi bersama para tokoh lintas agama Rabu (19/1) pekan lalu, Rumah Kebohongan IMM sudah menerima sejumlah laporan kebohongan pemerintah. Namun Yisu tak tahu persis mana laporan yang masuk dalam kategori lengkap dan mana laporan yang belum lengkap.

''Besok Senin saja kembali lagi untuk data yang lebih pasti,'' imbuh Yisu. Dia pun menambahkan, semua laporan yang diterima IMM akan diteruskan ke Maarif Institute sebagai posko tingkat nasional bagi sejumlah Rumah Kebohongan yang didirikan di kantor 18 LSM yang rata-rata mempunyai jaringan di tingkat nasional.

Tutupnya Rumah Kebohongan juga terjadi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW). Tidak terlihat ada aktivitas di kantor yang beralamat di Jalan Kalibata Timur IV/D Nomor 6 Jakarta Selatan tersebut. Kantor yang biasa diramaikan oleh aktivis-aktivis muda tersebut tampak sepi dari kegiatan para pengurusnya. Republika hanya berjumpa dengan Deden selaku penjaga kantor.

Tidak seperti di kantor Maarif Institue, di kantor ICW tidak ada satu pun penunjuk yang menyatakan kantor mereka sebagai salah satu Rumah Kebohongan. Bahkan Deden pun belum tahu kalau kantor yang dijaganya merupakan salah satu dari 18 kantor Rumah Kebohongan. ''Lho, saya tidak tahu kalau di sini jadi Rumah Kebohongan. Coba saja besok atau senin ke sini lagi, nanti tanya sama pengurus langsung,'' tandas Deden. (Sumber: Republika 24-1-2011)



Pendapat Zulfahmi
Heboh kebohongan pemerintah berawal dari rilis laporan kinerja pemerintah sepanjang tahun 2010, yang dianggap tokoh lintas agama adalah bohong. Sebenarnya laporan pemerintah SBY itu tidak over dosis, realitas dan biasa-biasa saja, sehingga tidak perlu menganggapnya kebohongan. Kehadiran rumah kebohongan boleh-boleh saja, perannya akan seperti ICW, IPW atau Transparency International (TI). Karena baru muncul, lazimnya bikin heboh dulu. Saya berharap rumah kebohongan dapat introspeksi diri dan bersedia menghargai kepemimpinan SBY.

Tidak ada komentar: