Minggu, 11 Oktober 2009

ISTRI BUPATI/WALIKOTA INCUMBENT IKUT PILKADA ?

Dinamika politik menjelang pelaksanaan Pilkada di Sumut semakin menghangat. Terutama menjelang Pilkada di Kota Binjai dan Asahan tahun 2010 mendatang. Ada fenomena menarik yang perlu dicermati menjelang Pilkada di beberapa kawasan Pantai Timur Sumatera Utara, menyusul tampilnya istri incumbent untuk maju menjadi calon Walikota dan Bupati dalam perhelatan pilkada nanti.

Fenomena ini menyiratkan, incumbent (Walikota dan Bupati) di Binjai dan Asahan yang tidak bisa lagi menjabat untuk masa berikutnya, sedang menata dan menyusun langkah politik kekerabatan untuk melanjutkan kukuhnya dinasti politik keluarga dalam kancah politik di Binjai dan Asahan.

Kecenderungan ini merupakan langkah berbahaya bagi perkembangan demokrasi dan regenerasi politik. Padahal, regenerasi politik yang sehat sangat penting untuk menjalankan demokratisasi di tingkat lokal. Mencermati kecenderungan politik kekerabatan dalam pilkada di kedua daerah ini, tampak jelas jabatan bupati dan walikota akan dijadikan sebagai sebagai harta warisan keluarga yang wajib diwariskan sampai ke anak cucu.

Dengan demikian akses ekonomi yang selama ini dibangun bisa diwariskan turun temurun kepada kerabatnya sendiri. Menjelang pelaksanaan pilkada, dengan tampilnya istri incumbent Walikota dan Bupati menegaskan, politik kekerabatan dalam moment pilkada akan menjadi trend baru di negeri ini setelah pemilu legislatif yang lalu.

Apalagi hubungan biologis menjadi penting untuk mengamankan kekuasaan dibandingkan dengan hubungan ideologis. Kondisi ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Cliford Geertz (2000) negara teater lahir dari partai milik keluarga. Dalam sebuah Negara teater, tokoh utamanya adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, sementara rakyat sebagai pemilih, adalah penonton.

Dalam hal ini, politik kekerabatan di pilkada telah mengalami proses aristokrasi atau pembangsawanan yang ditandai dengan upaya para elite politik (incumbent) untuk mengaitkan dirinya dengan silsilah atau kekerabatan. Upaya ini sengaja dilakukan untuk merebut pangsa pasar dari masyarakat pemilih tradisional yang orientasi politiknya masih berkiblat pada kultus individual. Jika proses politik kekerabatan berlanjut maka demokrasi yang sedang diperjuangkan akan hancur.

Politik kekerabatan yang akan dipraktikkan di pilkada oleh incumbent, sangat mengkhawatirkan karena akan menghancurkan demokrasi dan “pembodohan” terhadap rakyat. Politik kekerabatan pasti memupuk budaya feodalisme lama yang menekankan sentralisasi kepemimpinan. Politik kekerabatan juga memperkuat tradisi lama yang menyerahkan otoritas kekuasaan hanya kepada para bangsawan karenadianggap sebagai makhluk istimewa.

Memang, politik kekerabatan tidak dilarang dan gejala politik kekerabatan juga terjadi di negara lain, seperti Amerika Serikat yang sering disebut klan Kennedy, atau dinasti Bhutto di Pakistan atau dinasti Nehru di India. Yang membedakannya, menurut Syamsuddin Haris (2008) elit politik dan calon pemimpin berkiprah di bidang politik tidak semata-mata karena hubungan kekerabatan keluarga, tetapi justru karena rekam jejak, kapabilitas, dan latar belakang pendidikan ilmu politik dan hukum mereka

Budaya Politik Kampungan
Terjadinya politik kekerabatan menjelangmenjelang merupakan budaya politik kampungan. Dalam kajian antropologi, Politik kekerabatan merupakan praktik yang banyak ditemui di lingkungan masyarakat tradisional, yang berbasis pada nilai-nilai budaya kesukuan (tribal - culture-based societies) yang amat kuat.Pola hubungan politik yang terbangun lebih didasarkan kesatuan garis keturunan. Di kalangan masyarakat tradisional, tradisi politik kekerabatan dijadikan mekanisme alamiah yang efektif guna mengontrol sumber daya politik dan ekonomi agar tidak jatuh ke pihak lain.

Politik kekerabatan merupakan penjelmaan paling nyata dari sentiment primordial. Pada masa orde baru kita mengecam keras politik kekerabatan yang dipraktikkan Soeharto saat ia mengangkat anak, saudara, dan kroni terdekatnya menjadi anggota MPR dan Menteri, yang bertujuan mengamankan kekuasaannya.
Dengan kemunculan istri dari incumbent Walikota dan Bupati pada pilkada nanti maka regenerasi politik di daerah tersebut akan mundur kebelakang.

Bagaimanapun istri incumbent yang akan tampil memiliki keuntungan tersendiri dengan akses politik yang lebih besar dibandingkan dengan calon lain yang akan maju menjadi calon walikota dan bupati. Keuntungannya adalah dengan cara memaksa birokrasi bekerja untuk istri incumbent. Hal ini tentu membuat pertarungan pilkada tidak imbang dan tidak fair.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena pilkada tidak lagi sebagai perhelatan demokrasi untuk mencari pemimpin politik di tingkat local akan tetapi lebih sebagai sebuah ritus demokrasi untuk mengukuhkan kerajaan politik. Padahal esensi dan tujuan dari pilkada demokratis pada otonomi daerah saat ini adalah sarana konstitusional untuk mengganti aktor-aktor politik di panggung kekuasaan di daerah.

Pilkada Semu
Di manapun arena dan pertarungan politik dalam sistem demokrasi memiliki tujuan untuk bergerak dalam rasionalitas kolektif dan bekerja melayani kebaikan bersama. Seperti diutarakan Colin Hay (2007) dalam Why We Hate Politics, ketika arena politik bekerja melayani kepentingan pragmatis personal elit-elit politik, maka kepentingan personal dalam arena politik hanya akan menghasilkan irasionalitas kolektif.

Saat para elit politik hanya melayani kepentingan kepentingan kerabatnya dengan meminggirkan kesempatan bagi yang lain, maka politik tidak akan bekerja bagi kepentingan masyarakat dan pilkadapun hanya menjadi sarana bagi elit politik dan keluarganya untuk mengeksploitasi kekuasaan demi keuntungan materi.

Akibatnya, kepentingan publik dan konstituen tidak pernah dilayani bahkan mungkin dilupakan. Agar politik llokal menjadi sehat dan regenerasi politik bisa berlanjut. Mentradisikan demokrasi pada elit lokal menjadi hal utama. Tanpa adanya regenerasi politik maka Pembangunan daerah akan berjalan ditempat karena tidak adanya ide-ide baru yang lebih baik.

Menjelang pilkada Binjai dan Asahan ketika politik kekerabatan akan dipraktikkan maka gaya politik kekerabatan menyebabkan demokrasi menjadi “mati” di sisi lain juga menyuburkan praktik kolusi dan korupsi keluarga. Tanpa menanamkan nilai nilai demokrasi niscaya kemajuan Binjai dan Asahan akan sulit diraih. Sudah seharusnya elit politik dan incumbent berlaku waras untuk menyudahi politik kekerabatan dan menjalankan demokrasi yang lebih rasional. Dengan harapan, pembangunan di daerah itu berhasil dan masyarakat menjadi sejahtera.

Itu adalah kekhawatiran dini, yang tidak mungkin terjadi di era reformasi ini. Bukankah reformasi berhasil tahun 1998 karena rakyat bawah turut memperjuangkannya bersama Bapak Amin Rais. Kita tidak yakin istri Ali Umri Walikota Binjai dan istri Risuddin Bupati Asahan bisa menjadi pemenang pilkada 2010 nanti. Karena rakyat Binjai dan Asahan sudah melek politik, tahu siapa yang patut mereka pilih nanti di bilik suara. Yang jelas bukan perempuan, apalagi istri incumbent.

Tidak ada komentar: