Senin, 12 Oktober 2009

PELUANG ISTRI INCUMBENT IKUT PILKADA




Dinamika politik menjelang perhelatan pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) di Sumatera Utara semakin hangat, selalu menarik untuk diperbincangkan. Terutama menjelang Pilkada di Kota Binjai dan Asahan yang akan diselenggarakan pertengahan tahun 2010 mendatang. Ada fenomena menarik yang perlu dicermati menjelang Pilkada di dua kabupaten/kota di pantai Timur Sumatera Utara itu, menyusul tampilnya wacana, istri incumbent ingin maju menjadi calon Walikota dan Bupati dalam pilkada nanti.

Fenomena ini menyiratkan, incumbent Walikota dan Bupati di Binjai dan Asahan yang tidak bisa lagi menjabat untuk masa berikutnya karena sudah 2 periode menjadi Bupati dan Walikota, sedang menata dan menyusun langkah politik kekerabatan untuk melanjutkan kukuhnya dinasti politik keluarga dalam kancah politik di Binjai dan Asahan.

Khusus untuk Binjai, wacana isteri incumbent ingin menjadi calon walikota terasa setingkat lebih menarik, daripada di Asahan. Karena walikota yang sekarang masih berkuasa, Ali Umri terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara pada pemilihan umum legislatif 9 April 2009 yang lalu, tetapi hingga saat ini (11-10-2009) tidak ikut dilantik bersama 99 orang anggota DPRD terpilih lainnya yang sudah dilaksanakan pelantikannya Senin 14-9-2009.

Kecenderungan ini merupakan langkah berbahaya bagi calon walikota/bupati lainnya, perkembangan demokrasi dan regenerasi politik. Padahal, regenerasi politik yang sehat sangat penting untuk menjalankan demokratisasi di tingkat lokal. Mencermati kecenderungan politik kekerabatan dalam pilkada di kedua daerah ini, tampak jelas jabatan bupati dan walikota akan dijadikan sebagai warisan keluarga, yang menggiurkan untuk diteruskan sampai ke anak cucu.

Dengan harapan akses ekonomi yang selama ini dibangun bisa diwariskan turun temurun kepada kerabatnya sendiri. Menjelang pelaksanaan pilkada, dengan tampilnya istri incumbent Walikota dan Bupati menegaskan, politik kekerabatan dalam moment pilkada akan menjadi trend baru di negeri ini setelah pemilu legislatif yang lalu.

Apalagi hubungan biologis menjadi penting untuk mengamankan kekuasaan dibandingkan dengan hubungan ideologis. Kondisi ini sudah terjadi di masa lalu, dan ada dipertontonkan di panggung sandiwara, negara teater dalam sandiwara tersebut lahir dari partai milik keluarga. Dalam sebuah negara teater, tokoh utamanya adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, sementara rakyat sebagai pemilih, berperan sebagai penonton.

Bila istri incumbent tersebut terpilih sebagai pemenang, politik kekerabatan di pilkada telah mengalami proses ningratisasi atau pembangsawanan yang ditandai dengan upaya para elite politik (incumbent) untuk mengaitkan dirinya dengan silsilah atau kekerabatan. Upaya ini sengaja dilakukan untuk merebut pangsa pasar dari masyarakat pemilih tradisional yang orientasi politiknya masih berkiblat pada kultus individu. Jika proses politik kekerabatan berlanjut maka demokrasi yang sedang diperjuangkan akan hancur.

Politik kekerabatan yang akan dipraktekkan di pilkada nanti oleh incumbent, sangat mengkhawatirkan segelintir orang, karena akan menghancurkan demokrasi dan “pembodohan” terhadap rakyat katanya. Politik kekerabatan pasti memupuk budaya feodalisme lama yang menekankan sentralisasi kepemimpinan. Politik kekerabatan juga memperkuat tradisi lama yang menyerahkan otoritas kekuasaan hanya kepada para bangsawan karena dianggap sebagai makhluk istimewa.

Memang, politik kekerabatan tidak dilarang dan gejala politik kekerabatan juga terjadi di negara lain, seperti Amerika Serikat yang sering disebut klan Kennedy dan George Bush, rezim Aquino di Philipina, rezim Castro di Kuba, rezim Kim Yong Il di Koreta Utara, rezim Bhutto di Pakistan dan dinasti Nehru di India. Di tingkat nasional pada era reformasi terdapat dinasti Soekarno. Yang membedakannya, elit politik dan calon pemimpin berkiprah di bidang politik tidak semata-mata karena hubungan kekerabatan keluarga, tetapi justru karena rekam jejak, kegentingan politik dan latar belakang pendidikan ilmu politik dan hukum mereka.

Kelaziman politik
Terjadinya politik kekerabatan menjelang pilkada merupakan budaya politik kontemporer, dan akan tetap aktual sepanjang masa. Dalam kajian antropologi, politik kekerabatan merupakan praktik yang banyak ditemui di lingkungan masyarakat tradisional, yang berbasis pada nilai-nilai budaya kesukuan yang amat kuat. Pola hubungan politik yang terbangun lebih didasarkan kesatuan garis keturunan. Di kalangan masyarakat tradisional, tradisi politik kekerabatan dijadikan mekanisme alamiah yang efektif guna mengontrol sumber daya politik dan ekonomi agar tidak jatuh ke pihak lain.

Politik kekerabatan merupakan penjelmaan paling nyata dari sentiment primordial. Pada masa orde baru kita mengecam keras politik kekerabatan yang dipraktikkan Soeharto saat ia mengangkat anak, saudara, dan kroni terdekatnya menjadi anggota MPR dan Menteri, yang bertujuan mengamankan kekuasaannya. Dengan kemunculan istri dari incumbent Walikota dan Bupati pada pilkada nanti maka regenerasi politik di daerah tersebut akan mundur kebelakang.

Bagaimanapun istri incumbent yang akan tampil, memiliki keuntungan tersendiri dengan akses politik yang lebih besar dibandingkan dengan calon lain yang akan maju menjadi calon walikota dan bupati. Keuntungannya adalah dengan cara memaksa birokrasi bekerja untuk istri incumbent. Hal ini tentu membuat pertarungan pilkada tidak imbang dan tidak fair.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan elit politik karena pilkada bagi mereka tidak lagi sebagai perhelatan demokrasi untuk mencari pemimpin politik yang lebih segar di tingkat lokal, akan tetapi lebih sebagai sebuah kalender demokrasi untuk mengukuhkan kerajaan politik. Padahal esensi dan tujuan dari pilkada adalah implementasi demokratisasi pada otonomi daerah. Pada saat ini adalah sarana konstitusional untuk mengganti aktor politik di panggung kekuasaan di daerah.

Kesadaran Bersama
Di manapun arena dan pertarungan politik dalam sistem demokrasi memiliki tujuan untuk bergerak dalam rasionalitas kolektif dan bekerja melayani kebaikan bersama. Apabila arena politik bekerja melayani kepentingan pragmatis personal elit-elit politik, maka kepentingan personal dalam arena politik hanya akan menghasilkan keganjilan bersama.

Saat para elit politik hanya melayani kepentingan kepentingan kerabatnya dengan meminggirkan kesempatan bagi yang lain, maka politik tidak akan bekerja bagi kepentingan masyarakat dan pilkadapun hanya menjadi sarana bagi elit politik dan keluarganya untuk mengeksploitasi kekuasaan demi keuntungan materi.

Akibatnya, kepentingan publik dan konstituen tidak pernah dilayani bahkan mungkin dilupakan. Agar politik lokal menjadi sehat dan regenerasi politik bisa berlanjut. Mentradisikan demokrasi pada elit lokal menjadi hal utama. Tanpa adanya regenerasi politik maka pembangunan daerah akan berjalan ditempat karena tidak adanya ide-ide baru yang lebih baik.

Menjelang pilkada Binjai dan Asahan ketika politik kekerabatan akan dipraktikkan maka gaya politik kekerabatan menyebabkan demokrasi menjadi lebih dinamis dan mengagetkan rakyat miskin, di sisi lain juga menyuburkan praktik kolusi dan korupsi keluarga. Bila proses pilkada tidak berlangsung secara jujur dan adil, karena suami masih berkuasa sebagai Walikota dan Bupati, pelaksanaan pilkada menjadi sangat menggoda untuk dicermati dan diawasi karena rawan praktik curang. Oleh karena itu diperlukan penyelenggara pilkada yang tangguh, tegar, tekun menegakkan nilai-nilai tauhid, demokrasi, rasionalitas, kejujuran dan keadilan dalam menyelenggarakan tahapan-tahapan pilkada yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Di samping itu, kepada pemilih perlu ditanamkan karakter berani memilih calon kepala daerah yang sesuai dengan hati nuraninya sendiri, karena kerahasiaan pilihan dijamin oleh undang-undang. Aparat penegak hukum dalam hal ini Panwaslu, polisi, jaksa dan hakim perlu ketegasan dan kesungguhan menjaga proses politik ini benar-benar berlangsung jujur dan adil, sehingga pemilih merasa tenang, berani dan nyaman menetapkan pilihannya di tempat pemungutan suara (TPS). Sudah seharusnya elit politik dan incumbent diberi kesempatan yang sama menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, selama mereka bisa berlaku waras untuk menyudahi politik akal bulus dan curang.

Paparan di atas adalah kekhawatiran dini, yang mungkin tidak terjadi di tingkat kepala daerah di era reformasi ini. Bukankah reformasi berhasil tahun 1998 karena rakyat lapisan bawah turut memperjuangkannya bersama Bapak Amin Rais. Dan kita tidak yakin benar apakah istri Ali Umri Walikota Binjai dan istri Risuddin Bupati Asahan bisa menjadi pemenang pilkada 2010 nanti. Karena rakyat Binjai dan Asahan sudah melek politik, sebagian besar menganut paham wanita tidak boleh menjadi imam atau pemimpin bagi laki-laki, dan tahu gambar siapa yang patut mereka centang di bilik suara. Mungkin bukan perempuan, apalagi istri incumbent, atau sebaliknyakah yang akan terjadi ? Kita lihat saja nanti.

Tidak ada komentar: