Sabtu, 17 Oktober 2009

MANFAAT GUBSU MENUNTUT BAGI HASIL PERKEBUNAN



Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, SE dalam kata sambutannya pada acara seminar nasional "Formula Dana Perimbangan dari Bagi Hasil Perkebunan untuk Pembangunan Daerah" di Aula Martabe kantor Gubernur Sumut Jalan Diponegoro Medan, Sabtu 10-10-2009, mengajak 19 (sembilan belas) gubernur  di Tanah Air yang di wilayahnya terdapat lahan perkebunan masing-masing NAD, Sumut, Riau, Sumsel, Sumbar, Jambi, Lampung, Bengkulu, Kalbar, Kaltim, Kalsel, Kalteng, Jatim, Jateng, Jabar, Sulteng, Sultra dan Papua untuk terus memperjuangkan bagi hasil sektor perkebunan yang dipastikannya akan sangat bermanfaat bagi percepatan pembangunan daerah.
Bagi hasil sektor perkebunan sebagai pendapatan asli daerah (PAD) telah digagas sejak tahun 1991 dan pernah disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
Rekomendasi seminar
Seminar tersebut mengeluarkan tujuh rekomendasi yang akan dijadikan pedoman bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari 19 provinsi tersebut, serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum 9-4-2009 telah mengucapkan sumpah/janji 1-10-2009 yang lalu, dalam mengupayakan keadilan dalam pengalokasian dana bagi hasil perkebunan antara pusat dan daerah.
DR Polin R Pospos berperan sebagai moderator pada seminar tersebut  dihadiri gubernur, Ketua DPRD, Kepala Bappeda, Kepala Dispenda dan para Kepala Dinas Perkebunan, utusan dari fakultas ekonomi dari 19 provinsi, kalangan asosiasi perkebunan dan LSM. Irman Gusman ketua DPD tampil sebagai keynote speaker. Pemakalah antara lain Sekjen Kementerian BUMN Said Didu, Dirjen Perkebunan RI Dr Ir R Drajat, Prof DR Ningrum dan Dekan Fakultas Ekonomi USU Jhon Tafbu Ritonga, MEc.
Jhon Tafbu mengkritik argumen yang digunakan pemerintah pusat seperti yang dipaparkan Said Didu. Menurut Jhon Tafbu, unsur luasnya areal perkebunan perlu dimasukan dalam perhitungan pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU).
Jhon Tafbu menyebutkan hal itu sebagai bentuk keadilan ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah. Karena itu ia menyarankan agar 19 provinsi tetap bersikukuh menuntut dana bagi hasil perkebunan tersebut.
Seminar menyimpulkan tuntutan tersebut sangat mungkin dilakukan, karena berdasarkan pasal 33 UUD 1945 menyebut bahwa bumi, air, dan isinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah hanya membagihasilkan sumber daya alam, oleh karena itu perlu direvisi.
Seminar merekomendasikan agar pajak ekspor diatur kembali agar dibagikan ke daerah. Dan dalam mengelola dana bagi hasil perlu adanya tranparansi antara data dan hasil yang sebenarnya.
Perimbangan keuangan
Tuntutan seminar tersebut terganjal oleh UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang tidak memasukkan sektor perkebunan dalam Dana Bagi Hasil (DBH). Karena  perkebunan tidak termasuk sumber daya alam (ekstraktif).
Kesimpulan seminar yang dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945 (bumi, air, dan isinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat) pun sudah lebih dulu dijawab oleh UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang sudah disahkan  pada tanggal 15-9-2009.
Ilmu ekonomi kontemporer tidak menggolongkan usaha perkebunan sebagai kelompok ekstraktif, ia termasuk kelompok budi daya, sama seperti usaha tani, peternakan, pemeliharaan ikan di kolam, kramba di laut, danau dan sungai.
Dari kegiatan usaha ekstraktif, selain pajak penghasilan (PPh) pemerintah dapat memungut iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi, iuran produksi, iuran bagian pemerintah, royalty, pungutan perikanan dan iuran galian C.
Tergolong sumber daya alam antara lain pertambangan minyak, emas, timah, nikel, batubara, pasir, kerikil, batu, tanah timbun, perburuan hewan liar, burung, ikan di laut, sungai, danau, penebangan kayu dan rotan, pengambilan damar dari hutan, pengambilan air sumur, air laut untuk garam, air sungai dan air hujan.
Dari kegiatan usaha budi daya pemerintah hanya dapat memungut PPh. Tidak logis memungut jenis penerimaan negara lainnya. Bila ingin mendapat bagi hasil pemerintah harus ikut tanam saham, contoh BUMN/D perkebunan.
Dari kegiatan usaha pengolahan, manufactur, industri dan jasa, pemerintah dapat memungut PPh, PPN dan PPN BM. Dari orang/perorangan pemerintah dapat memungut PPh pasal 21, 22, 25/29.
Dari tanah dan bangunan pemerintah dapat memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Dari rokok, tembakau, minuman beralkohol pemerintah dapat memungut cukai karena barang-barang tersebut dapat mengganggu kesehatan.
Terhadap barang impor pemerintah dapat memungut Bea Masuk, PPh, PPN dan PPN BM.
Terhadap barang ekspor undang-undang mengenakan tariff  O %. Dapat mengenakan pajak ekspor diatas 0 % bila barang tersebut tiba-tiba melambung harganya sehingga mengganggu kebutuhan nasional, misal pajak ekspor yang dikenakan terhadap CPO sawit. Oleh karena itu sia-sia saja seminar tersebut menuntut ada bagi hasil terhadap pajak ekspor.
Dana bagi hasil
Penerimaan Negara yang sudah dibagihasilkan dengan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam UU 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, antara lain PBB, semua jenis penerimaan yang berasal dari sumber daya alam, serta PPh pasal 21 dan  PPh pasal 25/29 perorangan.
Pasal 2 UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah membenarkan Pemda menggali pendapatan asli daerah (PAD)nya antara lain dari:
Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
1.      Pajak Kendaraan Bermotor;
2.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3.      Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4.      Pajak Air Permukaan; dan
5.      Pajak Rokok.       
Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
1.      Pajak Hotel;
2.      Pajak Restoran;
3.      Pajak Hiburan;
4.      Pajak Reklame;
5.      Pajak Penerangan Jalan;
6.      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7.      Pajak Parkir;
8.      Pajak Air Tanah;
9.      Pajak Sarang Burung Walet;
10.  Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11.  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Bertolak belakang
Tuntutan Gubsu tersebut dalam 5 tahun ke depan sepertinya menggantang asap, terasa asal minta/jolok saja, akan lelah membahas-bahasnya dengan menggunakan uang APBD yang berasal dari pembayar pajak. Dan akan manambah beban bagi pengusaha perkebunan, yang sudah dikenakan PBB perkebunan 2 kali tarif umum sesuai pasal 1 PP nomor 25 tahun 2002 tentang Penetapan NJOP PBB.  Bukankah pemprovsu memiliki  BUMD perkebunan yang minim laba, begitu pula nasib BUMN perkebunan.
Keinginan menambah PAD dari perkebunan bertolak belakang dengan praktik kezaliman Negara, seperti yang dialami DL Sitorus yang telah berjasa menghijaukan Padang Lawas, yang telah memberikan kesejahteraan kepada rakyat, tanpa ada sepeserpun dana reboisasi dialirkan kesana. Bukankah telah berpuluh tahun tanah Padang Lawas dibiarkan Negara gersang terlantar. Lantas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tapanuli Selatan telah menerbitkan sertifikat hak kepada masyarakat adat, lalu tanah tersebut dibeli DL Sitorus dari masyarakat, lalu ia menanam tanaman perkebunan di tanah terlantar tersebut. Mengapa belakangan pemerintah mengklaim Padang Lawas sebagai tanah register 40, setelah DL Sitorus bersusah payah mengubah padang lawas yang gersang terlantar menjadi hijau dengan tanaman yang secara jelas bermanfaat bagi ekosistem, perbaikan lingkungan alam, rakyat banyak dan negara.
Belum taukah kita bahwa pemilik tanah yang membiarkan tanahnya terlantar selama 3  (tiga) tahun tergolong orang fasik, akan menjadi penghuni neraka.
Akibat kekeliruan hukum kita mendefinisikan fungsi hutan harus tetap lestari dan tanah negara, sering berlangsung praktik kucing menteror tikus, tikus lari makanan diambil kucing, praktik pemerasan oleh aparat lapangan terhadap orang yang mencoba memakmurkan tanah terlantar, maka banyak ditemukan tanah berstatus hutan lindung,  atau tanah register namun faktanya cuma padang gersang. Kekeliruan ini menyebabkan kita tertinggal 30 tahun di belakang negara jiran. Sementara luas tanah terlantar terus bertambah.  Lalu kita beramai-ramai menyebut pelakunya dengan perambah hutan.
Janganlah kamu memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat mengambil sebagian dari harta benda orang lain dengan cara yang keji, padahal kamu tahu QS Albaqarah: 188.
Maukah kita mengambil pelajaran dari bencana yang terjadi di Sumatera Utara menyusul DL Sitorus dijebloskan kepenjara, antara lain jatuhnya pesawat Mandala Minggu 5-9-2005 yang menewaskan Gubsu Rizal Nurdin masa jabatan 2 periode 1988-2008, anggota DPD Drs Abdul Halim Harahap hasil pemilu 5-4-2004 dan Raja Inal Siregar selain anggota DPD sebelumnya ia adalah Gubernur Sumatera Utara selama 2 priode 1978-1988; gempa dan tsunami Nias 2004 dan 2005; banjir Muara Sipongi Mandailing Natal dan banjir Bahorok Desember 2006, banjir Pakkat Humbang Hasundutan Januari 2007, banjir Medan Mei 2007, serta banjir yang kembali menimpa kabupaten Mandailing Natal September 2009.
Jalan pintas
Jalan pintas yang dapat ditempuh pemda jika ingin mendapat PAD lebih besar, yang secara simultan dapat mendorong rakyat berbondong-bondong menghijaukan tanah air dengan usaha perkebunan dan usaha tani palawija. Pemda boleh mengusulkan revisi pasal 13 UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, agar persentase Dana Bagi Hasil penerimaan PPh Pasal 21, dan PPh Pasal 25/29 perorangan diubah dari 20% menjadi 90% seperti yang berlaku pada bagi hasil PBB. Karena sumber penerimaan pemerintah pusat sudah cukup banyak dari PPh Badan, PPN, PPN BM, Bea Masuk, Cukai serta dividen BUMN.
Tetapi peningkatan penerimaan PAD tersebut harus dibelanjakan pemda menambah panjang jalan provinsi dan jalan kabupaten untuk memudahkan pengangkutan hasil budi daya kebun dan hasil usaha tani rakyat.
Sehingga rakyat tertarik menanami tanah yang terlantar, meningkatkan hasil dan paedah dari tanah. Agar bertambah banyak lagi rakyat perorangan yang mampu membayar pajak.
Sehingga terwujud negeri yang hijau makmur diberkati Tuhan yang Maha Memelihara dan  Maha Pengampun. Dan besok lusa kita tidak lagi  diterjang bencana yang sudah berulang-ulang merenggut nyawa rakyat dan pejabat, memusnahkan harta benda yang sudah mereka tumpuk bertahun-tahun. Karena bencana merupakan teguran sebagian akibat dosa kita yang tidak menghijaumakmurkan bumi, keliru memetakan tanah hutan lestari dan tanah negara, dan sudah menzalimi orang yang memakmurkan tanah terlantar.

Penulis alumni FE UMSU jurusan Akuntansi Medan, tinggal di Tanjung Balai Sumatera Utara, gemar mengamati masalah ekonomi dan pemilu.

1 komentar:

Zulfahmi mengatakan...

Gunung berfunsi meredam guncangan yang timbul akibat pergerakan lapisan bawah bumi.
Lapisan bawah bumi itu bergerak sebagaimana kamu lihat awan bergerak.
Gempa yang timbul dari pergerakan lapisan bumi dapat menjadi pemicu bencana, hanya jika Allah ingin menimpakan azab kepada manusia, yang melakukan dosa fasik.
Hal itu serupa saja dengan bencana yang timbul dari sebab angin topan, hujan lebat dalam waktu lama, petir yang menyambar, tabrakan kendaraan, pesawat jatuh dan wabah penyakit.
Jadi jangan sangka bencana gempa atau tsunami cuma kalender alam yang terjadi semata-mata karena sudah tiba waktunya.