JAKARTA--Sengketa dalam pilkada perlu ditekan dengan menyusun regulasi yang ketat. Hal itu penting agar tidak banyak kasus pelanggaran pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berperan dalam menyusun regulasi itu.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Daniel Zuchron, Rabu (21/10), mengutarakan, sengketa pilkada tak akan muncul jika semua tahapan mengacu pada regulasi. Dia berharap, KPU menjalankan regulasi itu dengan baik.
Dalam Pasal 236C UU No 12/2008 disebutkan, penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Undang-undang itu merupakan perubahan atas UU No 32/2004.
Daniel mengatakan, sengketa pilkada yang diproses di MK hanya terkait dengan hasil pilkada. "Padahal, pelanggaran pilkada lainnya bukan hanya terletak pada hasil saja, melainkan pada semua tahapan," tuturnya. Salah satu pelanggaran itu adalah penggunaan fasilitas jabatan oleh calon yang sedang berkuasa.
KPU tidak hanya perlu berkoordinasi dengan MK saja, kata Daniel, melainkan harus melakukan hal serupa dengan jajarannya di daerah. "Mereka harus punya komitmen untuk menindak segala bentuk pelanggaran pilkada meski harus menghadapi penguasa," kata dia. Jika tidak ada komitmen, pelanggaran pilkada tidak akan pernah diproses hukum. ikh/rif (Dikutip dari Republika 21-10-2009)
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Daniel Zuchron, Rabu (21/10), mengutarakan, sengketa pilkada tak akan muncul jika semua tahapan mengacu pada regulasi. Dia berharap, KPU menjalankan regulasi itu dengan baik.
Dalam Pasal 236C UU No 12/2008 disebutkan, penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Undang-undang itu merupakan perubahan atas UU No 32/2004.
Daniel mengatakan, sengketa pilkada yang diproses di MK hanya terkait dengan hasil pilkada. "Padahal, pelanggaran pilkada lainnya bukan hanya terletak pada hasil saja, melainkan pada semua tahapan," tuturnya. Salah satu pelanggaran itu adalah penggunaan fasilitas jabatan oleh calon yang sedang berkuasa.
KPU tidak hanya perlu berkoordinasi dengan MK saja, kata Daniel, melainkan harus melakukan hal serupa dengan jajarannya di daerah. "Mereka harus punya komitmen untuk menindak segala bentuk pelanggaran pilkada meski harus menghadapi penguasa," kata dia. Jika tidak ada komitmen, pelanggaran pilkada tidak akan pernah diproses hukum. ikh/rif (Dikutip dari Republika 21-10-2009)
Tanggapan Zulfahmi
Pak Daniel Zuchro Kalau masalah sengketa beralih ke MK tak begitu merepotkan Pak. Itu sudah jelas. 2 masalah berikut lebih seru:
Pasal 71 UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah lupa turut direvisi pada UU 12 tahun 2008 tentang perubahan UU 32 tahun 2004 tentang Pemda. Akibatnya Kartu Pemilih yang sudah ditiadakan pada Pemilu legislative 2009, dan Pilpres 2009. Pada pilkada 2010 Kartu Pemilih otomatis muncul kembali karena Pasal 71 yg mengatur Kartu Pemilih belum direvisi, kecuali sebelum tahun 2009 ini berakhir pasal tersebut dapat direvisi DPR. Pengadaan Kartu Pemilih adalah pemborosan.
Pasal 88 UU 32 tahun 2004 yang mengatur tata cara pemberian suara, juga belum direvisi, maka pilkada nanti kita kembali mencoblos, pada pemilu legislative dan Pilpres 2009 kita mencentang.
Bila ini tidak segera direvisi DPR, juga akan bermasalah, dan membingungkan rakyat. Dan dapat menambah biaya sosialisasi pilkada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar