Ratusan tahun yang lalu tersebutlah seorang pemuda bernama Jompong Suar wajahnya tampan, tubuhnya kekar berisi walaupun umurnya baru menginjak lima belas tahun. Dari penuturan orang, keluarga Jompong Suar adalah keluarga pendatang. Mereka bukan asli dari desa itu. Ayahnya bernama Pandelala dan ibunya dipanggil orang Dendelawi. Dahulunya mereka hanya sekedar mengungsi akibat terusir dari tempat asalnya.
Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah anak tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja. Permintaanya kerap dikabulkan, hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya harapan masa depan orang tuanya ditumpahkan. Namun pada diri Jompong Suar terdapat watak yang kurang baik. Ibarat kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali mengganggu anak-anak di desanya. Tak jarang menampar dan memukuli anak-anak seumurnya. Kelakuannya tidak saja mengusik tetapi bahkan merampas dan menjarah sesuatu yang bukan miliknya, sering pula ia lakukan. Akibatnya teman sebayanya menyingkir dan menjauhinya.
Tentang kelakuan Jompong Suar yang tidak baik itu telah banyak diberitahukan orang kepada ayahnya. Tetapi ayahnya tak pernah mengindahkan. Pandelala malah mengelak tuduhan itu dan selalu membela Jompong Suar.
Ketua adat di desa itu mencela sikap Pandelala. Tentang itu mereka semua berujar.
“Pandelala adalah sosok orang tua yang tidak bijaksana, sikap yang harus dihilangkan pada setiap orang. Membela yang salah, pada gilirannya kebatilan bertambah subur. Kebenaran semakin luntur. Benar dan salah saling membentur. Keadilan makin terkubur, hati nurani menjadi hancur. Sikap itu harus dihentikan”. Demikian tekad mereka.
Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung berubah walaupun berkali-kali mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya, orang desa menyindir, “kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa, setelah tua takkan berubah”.
Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung berubah walaupun berkali-kali mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya, orang desa menyindir, “kecil teranja-anja, besar terbawa-bawa, setelah tua takkan berubah”.
Keluh orang tua, “Tak dibilang jadi binasa, dibilang juga jadi bencana”.
Karena tak tahan lagi, maka mufakatlah beberapa orang kampung untuk melaporkan kelakuan buruk Jompong Suar kepada Sang Raja.
Kedatuan (kerajaan) Sadiwangi mempunyai wilayah cukup luas. Ke utara sampai ke Ai Sempang yaitu desanya Jompong Suar. Sedang ke selatan berkesudahan dengan pantai laut. Kedatuan ini diperintah oleh seorang Datu (raja) yang bernama “Buntar Buana”. Baginda raja dikenal tegas dalam pendiriannya. Keamanan dan ketenteraman rakyatnya adalah masalah utama yang sangat menjadi perhatian raja. Siapa saja yang berbuat onar atau kerusuhan, pertengkaran, perampokan, baginda raja tidak segan-segan memberikan hukuman berat terhadap pelakunya. Baginda menginginkan agar rakyatnya dapat melakukan setiap usaha mereka dengan perasaan tenang, tiada dihantui rasa takut dan was-was. Sistem keamanan lingkungan sangat diperkuat. Lebih-lebih setelah peristiwa sedih menimpa istana.
Sekitar setahun yang lalu putri bungsu baginda yang bernama Mandang Wulan hilang dari istana. Tidak diketahui kemana perginya. Apakah dilarikan orang ataukah telah tewas, tiada seorangpun yang tahu. Ke seluruh penjuru kerajaan telah dilakukan pencarian, namun tak seorangpun yang dapat memberikan petunjuk, dimana Mandang Wulan berada. Inilah yang membuat baginda raja selalu masygul.
Pada suatu petang yang cerah, tiada awan selembarpun menutupi langit. Angin semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan di sore itu. Paduka raja bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang-bincang. Baginda raja selalu mengaharapka agar seluruh penghuni istana tetap berupaya menemukan putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan supaya dibawa pulang ke istana.
Pada suatu petang yang cerah, tiada awan selembarpun menutupi langit. Angin semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan di sore itu. Paduka raja bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang-bincang. Baginda raja selalu mengaharapka agar seluruh penghuni istana tetap berupaya menemukan putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan supaya dibawa pulang ke istana.
Tiada lama setelah bincang-bincang selesai, masuklah seorang penjaga istana dan langsung menghadap baginda. Setelah menghatur sembah, penjaga istana itupun berkata.
“Hamba datang untuk melaporkan bahwa di luar istana ada empat orang tamu yang ingin menghadap baginda”, kata penjaga istana.
“Bawalah mereka masuk”. Jawab baginda singkat
Setelah empat orang tamu itu bersimpuh di depan raja, salah seorang berkata.
“Ampun tuanku. Hamba berempat datang dari tempat yang jauh dengan maksud mohon perlindungan baginda yang mulia”, katanya dengan nada penuh harap.
Sambil memandang kepada tamu itu, bagindapun berkata. “Dari manakah kalian berempat, dan apa maksud kalian datang ke istana petang-petang begini? Jika ada kabar penting sampaikanlah, mungkin dapat segera diselesaikan”, kata paduka raja.
“Benar tuanku. Hamba datang dari Desa Ai Sempang, yaitu desa di ujung utara kerajaan baginda. Adapun maksud kedatangan hamba dan kawan-kawan adalah untuk melaporkan, bahwa di desa kami ada seorang pemuda bernama Jompong Suar yang selalu menggangu ketentraman di desa kami, dan juga ketentraman anak-anak kami”. Kata salah seorang diantara mereka.
”Perbuatan pemuda itu tiada sekedar menggangu tetapi telah sampai kepada merampas dan menjarah barang-barang anak-anak kami tuanku. Mohon perlindungan tuanku”, sambungnya dengan sopan.
Mendengar laporan itu, paduka raja berucap. “Baiklah laporan kalian aku terima. Dan aku percaya bahwa kamu semua benar dan tidak membohongi kami. Besok pemuda itu akan kupanggil. Dan sekarang kamu berempat pulanglah”, kata baginda.
Setelah itu keempat orang yang melapor itu pun keluar meninggalkan istana pulang kembali ke Ai Sempang.
Demikianlah, keesokan harinya tatkala sang surya naik sepenggalah, dibawalah Jompong Suar beserta ayahnya mengahadap paduka raja. Ibarat pesakitan di depan hakim, keduanya duduk bersimpuh. Tiada berapa lama Paduka Raja berucap.
“Hai kalian berdua, manakah di antara kalian yang bernama Jompong Suar?”, tanya baginda. Kemudian Jompong Suar memandang baginda dan menjawab.
“Ampun tuanku. Hambalah yang bernama Jompong Suar dan inilah ayah hamba bernama Pandelala”, kata Jompong Suar.
Baginda raja memandang tajam kepada kedua tamunya. Baginda kemudian berucap.
“Dengarkanlah oleh kalian berdua. Ketenteraman adalah idaman semua orang. Perusuh dan penjarah adalah musuh semua orang pula. Beberapa orang telah datang ke istana melaporkan kelakuan yang tidak terpuji”, kata raja.
Baginda raja berhenti sejenak lalu katanya: “Jompong Suar, engkau adalah perusuh, perampok, bahkan besok kamu bisa menjadi pembunuh yang kejam. Engkau telah bersalah besar.
Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga engkau kuperintahkan untuk mencari dan membawa ke istana sebatang bambu berbatang perak, berdaun emas, dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai perusuh. Bila kau mendapatkannya aku akan memberikan hadiah sangat berharga kepadamu. Tetapi jika engkau kembali dengan tangan hampa maka hukuman lebih berat lagi akan kau terima”, kata baginda tuntas.
Bagai petir menyambar di siang bolong rasanya, setelah Jompong Suar mendengar putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh pingsan, untung saja ayahnya cepat memegang pundaknya.
Ia bangkit dari tempat duduknya, setelah tangannya diangkat ayahnya untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang tak henti-hentinya Jompong Suar menghela nafas, pertanda kesal atas putusan yang dijatuhkan kepadanya. Sebentar-bentar ia mengeluh memikirkan hukuman yang berat itu.
Ayahnya segera menenangkannya. Kata ayahnya: “Wahai anakku, sabarlah meneriama putusan itu. Yakinlah di balik kesulitan akan datang kemudahan”, kata ayahnya.
“Memang benar apa yang ayah katakan dan anakda akan rela menghadapi cobaan itu. Hanya saja putusan itu terlalu kejam, tidak adil, dan tidak sebanding dengan kesalahan yang anakda lakukan”, kata Jompong Suar kesal.
“Sudahlah Nak”, kata ayahnya. ”Tidak baik jika terlalu menyesali nasib”, lanjut ayahnya sejenak. Mereka berdua terdiam sesaat. “Ketahuilah anakku, bahwa sang Raja sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya seringkali memberikan putusan tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang-kadang lebih kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan”, bujuk ayahnya.
Pada suatu pagi sebelum matahari terbit, keluarlah Jompong Suar dari rumahnya setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Dipeluknya ayah dan ibunya.
Lepas dari pelukan kedua orangtunya. Jompong Suar sekali lagi membungkuk memberi hormat kepada orang tua yang di cintainya itu.
Sekarang Jompong Suar telah memulai pengembaraanya. Sang ayah mengiringi dengan doa, sedang ibunya tak kuasa berucap apa-apa selain isak tangis yang memilukan, memikirkan nasib yang akan menimpa anaknya. Kedua orang tua itu terus mengiringi keberangkatan anaknya dengan pandangan mata, sampai akhirnya Jompong Suar tak terlihat lagi. Kedua orangtua itupun kembali masuk rumahnya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu, dan minggupun berganti bulan, telah banyak desa didatanginya mencari berita tentang bambu emas itu. Setiap bertemu orang selalu ditanyainya, namun belum seorangpun dapat menunjukinya. Bahkan banyak yang menyatakan keheranannya mendengar putusan raja yang diberikan kepadanya.
Kini Jompong Suar memutuskan untuk mengembara ke hutan rimba dimana pohon bambu banyak tumbuh. Boleh jadi bambu emas itu dapat ditemukan di antara rumpun bambu yang banyak itu. Tak terhitung bukit yang sudah didaki, tak terbilang lembah yang sudah dituruni, namun nasibnya belum beruntung. Sekarang badannya terasa sangat letih. Makanan yang sempat dibawanya telah lama habis. Perutnya hanya diisi buah-buahan yang dipetiknya dari pohon-pohon kayu di hutan. Tiada uang ataupun belanja diberikan ayahnya, kecuali hanya sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Di bahunya tergantung sebuah kantong kecil berisikan selembar kain untuk pembalut tubuhnya tatkala kedinginan.
Tiga purnama sudah dilalui namun belum juga ada tanda-tanda dapat menemukan apa yang dicarinya. Untunglah tiada seekorpun binatang buas yang menggangu dalam pengembaraannya.
Dalam berbagai kesulitan itu, Jompong Suar tiada berputus asa. Teringat selalu pesan ayahnya bahwa di balik kesulitan akan datang kemudahan. Kalimat ini membuat jiwanya semakin hidup, tulang belulangnya semakin kokoh dan langkahnya kian mantap. Dalam dirinya tumbuh tekad. Semboyannya adalah jauh berjalan banyak dilihat, jauh merantau banyak di dapat.
Segar dalam ingatanya pepatah yang mengatakan ‘berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas’.
Pada suatu siang, di tengah belantara yang tidak pernah terinjak kaki manusia, tiada angin bertiup, cahaya matahari seakan membakar persada. Karena sangat letihnya Jompong Suar beristirahat di bawah sebatang kayu. Dalam kepenatannya, akhirnya ia tertidur pulas.
Telah lama Jompong Suar tidur, lalu iapun terbangun dari tidurnya, karena mendengar namanya dipangil.
“Dari manakah datangnya suara itu? Dan siapakah yang menyebut namaku di belantara yang sesunyi ini? Pikirnya. Perasaanya semakin hidup dan bertekad keras akan mencari dari mana datangnya suara itu. Kemudian ia bangkit dan berjalan. Di tengah keheranannya akan suara panggilan tadi diteruskan juga langkahnya mengikuti irama hatinya.
Sebuah batu besar menghalang di depannya. Jompong Suar mendekati batu besar itu, lalu mengitari sekelilingnya untuk meneliti.
Dengan tiada diduga sebelumnya tiba-tiba dilihatnya sebuah gua serangkaian dengan batu besar itu. Perasaanya cemas bercampur takut. Tetapi ia berusaha melawan rasa takutnya itu. Ia memberanikan diri dan berjalan perlahan-lahan menghampiri mulut gua. Dan alangkah terkejutnya ketika Jompong Suar melihat jelas di dalam gua itu berdiri seorang gadis remaja cantik jelita. Jompong Suar tertegun sejenak. Hati dan pikirannya belum percaya dengan pandangan matanya. Diusapnya matanya berkali-kali.
“Apakah aku sedang berkhayal? Jika benar apakah gadis itu manusia biasa? Atau barangkali sosok Jin penghuni gua ini?”, demikian macam-macam pikiran yang muncul di benaknya. Jompong Suar terus dihujani berbagai pertanyaan dalam benaknya. “Kalau gadis ini manusia biasa maka anak siapakah gerangan? Dan mengapa pula dia memilih hidup di tempat yang terasing ini?”, tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sebelum berbagai pertanyaan itu terjawab, dengan langkah gontai gadis itu menghampirinya. Dengan suara lembut gadis itu menyapa.
“Duhai Pangeran! Sipakah Pangeran sebenarnya? Dan apakah maksud pangeran datang ke tempat yang jauh, seram, dan angker ini?”, sapanya kepada Jompong Suar.
Jompong Suar masih saja tertegun atas segala peristiwa yang dialaminya ini. Ia masih mencoba menyakinkan dirinya bahwa apa yang ada di hadapannya ini bukanlah mimpi. Sambil mencoba untuk menenangkan perasaannya. Sementara itu, putri gua yang cantik jelita itu, terus menatapnya dengan pandangan malu-malu, tetapi penuh harap. Akhirnya Jompong Suar menguasai segenap perasaan dan jiwanya maka barulah ia mencoba menjawab sang putri gua itu.
“Ampun Tuan Putri. Hamba telah berani datang ke tempat ini, yang menyebabkan Tuan Putri terusik”. Kata Jompong Suar merendah, sebagaimana layaknya seorang rakyat biasa.
“Oh. Tidak apa-apa”, kata gadis itu menghibur. “Saya sangat senang menerima kedatangan Pangeran”, sambungnya.
Kemudian Jompong Suar berbicara. “Tuan Putri, hamba bukanlah seorang Pangeran, hamba bukan dari golongan darah biru. Hamba adalah manusia biasa”, kata Jompong Suar menjelaskan kedudukan dirinya. “Nama hamba Jompong Suar, anak desa, tuan Puteri.” Setelah mendengar penjelasan itu gadis itupun berkata.
“Wahai Kanda Jompong Suar namaku Mandang Wulan. Tetapi panggil saja aku Dinda supaya pembicaraan kita lebih akrab”.
Selanjutnya Jompong Suar melanjutkan pertanyaan. “Wahai Dinda Mandang Wulan. Gerangan apakah sebabnya Dinda berada di tempat ini. Jika Dinda manusia juga seperti aku, tolong jelaskan kepada Kanda, siapakah ayah bunda Adinda, dan di manakah mereka sekarang berada?”.
Sejenak gadis itu terdiam. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya yang tipis mungil itu bergetar seolah-olah ia mencoba membendung sesuatu perasaan yang menyesakkan di dadanya. Jompong Suar menatapnya dengan pandangan yang sangat bersahabat, sehingga gadis itu merasa yakin untuk menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
“Baiklah Kanda. Akan kuceritakan semuanya. Tetapi sebaiknya kita duduk di dalam saja. Tak baik bercakap sambil berdiri, walaupun kita di tengah hutan dan berdua pula”. Gadis itu mengajak Jompong Suar menuju serambi depan gua.
Setelah kedua muda mudi itu duduk berhadapan, mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri menarik nafasnya dalam-dalam, seakan berpikir dari mana akan dimulai ceritanya. Sejurus kemudian ia berkata.
“Kanda Jompong Suar. Di tempat yang sunyi ini aku hidup sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak obahnya bagai dalam penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman tempat mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun Kanda melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku terkoyak dan harapku hampir punah. Rumahku gua angker ini, hendak pergi kemana lagi”. Gadis itu berhenti sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata membasahi pipinya yang merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan perasaan dan pikiranya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
“Satu-satunya yang memberiku hidup di tempat ini ialah seorang raksasa wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari-hari kupanggil nenek”, kata Mandang Wulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika Putri Mandang Wulan menyebut raksasa sebagai nenek.
“Duhai Dinda putri, jadi engakau ini anak raksasa? Oh... kalau begitu sebaiknya aku segera lari dari tempat ini!“ Kata Jompong Suar. Kemudian gadis itu menyambung.
“Tenanglah kanda: dengarlah kisahku sampai selesai. Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga bukan jin. Aku takkan sampai hati untuk menipumu”, kata gadis itu, lalu kemudian meneruskan pembicaraan.
“Nenekku akan kembali ke gua setelah matahari terbenam. Karena itu tenangkanlah diri Kanda. Aku akan ceritakan lebih jauh tentang diriku ini.
Kanda, sebenarnya aku ini adalah putri seorang raja. Tetapi aku bernasib buruk. Dahulu sewaktu aku berjalan-jalan di halaman istana, tiba-tiba aku disambar oleh seorang raksasa wanita dan membawaku ke tempat ini. Aku meronta-ronta dan minta tolong tetapi waktu itu tak ada yang mendengarku. Tak seorangpun dari penghuni istana mengetahui kepergianku. Sekarang sudah setahun lamanya aku tersiksa di tempat ini, tinggal menunggu saatnya aku kan mati”. Mandang wulan mengakhiri ceritanya.
Air matanya deras mengalir. Segala perasaan berkecamuk di dalam batinya. Rindu ayah dan bunda, rindu saudara-saudaranya. Teringat saat-saat bahagia bersama ayah bunda dan segenap penghuni istana, teringat inang pengasuhnya yang mengurusnya setiap hari.
Sekarang selama setahun hati dan jiwanya kosong. Dengan kehadiran Jompong Suar ada setitik harapan di dalam batinnya. Mungkinkah Yang Maha Kuasa telah datang untuk menolongnya.
Iba hati Jompong Suar mendengar penuturan gadis jelita itu. Seperti halnya Mandang wulan, maka sekarang Jompong Suar mencoba membagi perasaan dengan Mandang Wulan. Jompong Suar mencoba untuk menceritakan dirinya lebih jauh lagi.
“Dinda Mandang Wulan tercinta. Jika demikian halmu maka dengarlah ceritaku”, kata Jompong Suar. Bergetar hati Mandang Wulan menyimak kata-kata Jompong Suar. Ada perasaan lain yang menyejukkan hatinya. Kemudian Jompong Suar melanjutkan kisahnya.
“Aku ini lelaki yang bernasib buruk tak ubahnya seperti engkau juga. Aku dituduh bersalah besar. Paduka raja memberiku hukuman yang berat. Ya hukuman yang sangat berat yang sebenarnya tak kuasa aku untuk melakukannya. Aku diperintahkan untuk mencari sebatang bambu berdaun emas, berbunga intan. Jika aku menemukan bambu itu maka aku akan beroleh hadiah dari baginda Raja, tetapi jika tidak maka aku akan mendapatkan hukuman yang lebih berat lagi. Telah habis daratan kudatangi tetapi bambu itu tidak kutemukan. Kini aku mencari di hutan rimba. Itulah sebabnya aku sampai ke tempat ini. Jika tiada akupun takkan kembali walaupun ayah dan ibu menungguku kembali. Demikian Dinda kisahku sampai aku berada di hadapanmu sekarang ini”. Jompong Suar mengakhiri kisahnya.
Kini mandang Wulan merasa agak tenang dan terhibur. Sekarang telah hadir di sampingnya seseorang, dimana dia dapat membagi duka derita. Ada perasaan senasib, ada kekuatan batin yang menyatu untuk menembus apapun permasalahan dan penghalang dalam hidup ini. Dua kekuatan yang selama ini beku dan hampir mati, kini saling mengisi kekosongan masing-masing.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Sama benar nasib kita” kata Mandang Wulan memulai lagi pembicaraan. Kata-kata itu kemudian dilanjutkannya dengan senandung syair yang merdu dari bibir seorang putri raja.
Hendak ku pulang ke kampung halaman
Namun kemana kucari teman
Ingin bertemu ayah bundaku
Siapa pula sudi membantu
Akan halnya Jompong Suar yang mendapatkan tugas berat untuk memperoleh bambu yang berdaun emas dan berbunga intan, yang akan menentukan hidup atau matinya, itulah yang masih tetap membebani pikirannya. Namun tak disangka-sangka oleh Jompong Suar tiba-tiba saja Mandang Wulan memberikannya harapan.
“Duhai Kanda Jompong Suar. Pucuk dicinta ulam tiba. Segala titah baginda Raja yang dibebankan kepadamu sebagai hukuman itu tentu akan berakhir”, kata Mandang Wulan.
“Oh Dinda Mandang Wulan. Aku tidak mengerti maksudmu”, kata Jompong Suar. “Dengarlah Kanda. Di tempat yang sunyi inilah aku diberi tugas oleh Nenek raksasa untuk menjaga sebuah bambu seperti yang Kanda maksudkan itu”, kata Mandang Wulan melanjutkan.
“Oh. Benarkah kata-katamu Dinda?” tanya Jompong Suar, tergesa-gesa.
“Benar Kanda, Tak mungkin aku membohongimu. Ayolah Kanda kita kesana untuk mengambilnya”, lanjut Mandang Wulan. Semakin besar harapan Jompong Suar untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka berjalan menuju pohon bambu itu. Jompong Suar tidak menyia-nyiakan waktu. Sebentar saja bambu itu sudah berada di tangannya. Tiada terkira gembira hati Jompong Suar. Ia akan membawa Putri Mandang Wulan pergi ke kampung, bertemu dan bersatu dengan orangtuanya. Setelah bambu itu berada di tanganya. Jompong Suar segera mengajak Mandang Wulan untuk meninggalkan tempat itu.
“Wahai Dinda bergegaslah secepatnya. Matahari telah condong ke barat. Sebentar lagi tentu raksasa itu kembali”, kata Jompong Suar. Maka segeralah Mandang Wulan mempersiapkan sesuatu yang mungkin masih dapat dibawanya untuk bekal perjalanan. Terlontarlah harapan kepada Jompong Suar.
“Benar Kanda. Tak tahan aku di tempat ini. Perjumpaan kita yang tak terduga ini adalah petunjuk Tuhan. Bawalah aku kemana saja. Jangan tinggalkan aku Kanda. Aku tak ingin berpisah denganmu. Kalau aku harus mati maka biarkanlah aku mati asalkan tetap bersamu, Kanda”, kata Mandang Wulan.
Keduanya segera meninggalkan gua mereka itu. Mereka membawa bambu berdaun emas dan berbunga intan itu. Bambu itu adalah milik Nenek raksasa, tidak sebatangpun terdapat di tempat lain. Bambu itu tingginya hanya sehasta, mempunyai empat ruas dan empat pula buku. Pada setiap buku terdapat sebuah tangkai. Dan di ujung tangkai terdapat sebuah daun emas dan masing - masing mempunyai sebuah kuncup yang warnanya berbeda pula. Tangkai pertama berwarna hijau dinamakan kuncup angin. Tangkai kedua berwarna putih dinamakan kuncup air. Tangkai ketiga warnanya merah dinamakan kuncup api. Sedangkan yang keempat berwarna kuning dinamakan kuncup tanah. Dari batangnya keluarlah sinar yang indah, lebih-lebih di malam hari. Karena itu siang malam kedua remaja itu terus berjalan, berkat adanya sinar terang, bambu emas itu menjadi penerang jalan yang dilaluinya.
Setelah tiga hari tiga malam lamanya mereka berjalan menyusuri belantara, tiba-tiba pada hari keempat terdengar oleh mereka suara menakutkan. Putri Mandang Wulan maklum bahwa suara itu adalah suara raksasa. Rupanya rakasasa itu sudah mengetahui kalau Mandang Wulan telah menghilang lari meninggalkan gua. Raksasa itu terbang mengitari hutan mencari cahaya bambu emas kepunyaannya. Mandang Wulan telah melihat raksasa itu datang mengejar mereka. Bagaikan akan tumbang pepohonan disebabkan angin kepakan sayapnya. Jompong Suar mulai kuatir akan keselamatan mereka berdua. Namun tidak demikian dengan Mandang Wulan.
“Kanda berikan bambu itu kepada dinda, agaknya kita dalam bahaya”, ucapnya. Segeralah Mandang Wulan meniup kuncup angin. Maka seketika bertiuplah angin yang sangat kencang dan kuat ke arah raksasa itu. Raksasa itu terlempar dan kemudian terhempas ke tanah. Raksasa itu meraung-raung kesakitan.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Namun tidak lama kemudian raksasa itu datang lagi. Kali ini ia lebih geram. Suara teriakannya menggemuruh menggema, seolah - olah akan meruntuhkan seluruh pepohonan yang ada. Raksasa itu kini sangat marah. Jompong Suar sangat ketakutan. Mereka berdua terus saja berjalan berlari, sementara itu raksasa terus mengejar. Ketika raksasa itu sudah semakin mendekat maka berkatalah Putri Mandang Wulan.
“Tenanglah Kanda, jangan jauh dari diriku”, kata Mandang Wulan mantap. Sementara raksasa itu terus mendekat. Mandang Wulan kembali meniup kuncup bambu itu. Kali ini yang ditiup adalah kuncup air. Maka turunlah hujan yang sangat deras disertai petir yang menyambar. Hujan yang deras membuat raksasa itu basah kuyup dan menggigil kedinginan lalu tersungkur jatuh.
Putri Mandang Wulan mengajak Jompong Suar mempercepat perjalanan. Gadis itu yakin bahwa raksasa itu tetap akan mengejar mereka. Mereka terus mempercepat perjalanan. Tepat seperti apa yang dikatakan Mandang Wulan, sekarang raksasa itu kembali mengejar. Terdengar di kejauhan suaranya yang gemuruh melabrak pepohonan. Bunyi pohon patah gemeretak dan batu-batu pecah berhamburan dihantam oleh sang raksasa yang kian marah. Mandang Wulan dan Jompong Suar melihat itu datang dari arah yang berlawanan. Rupanya raksasa itu mengambil jalan melintas untuk menghadang dan menyergap kedua remaja itu. Tampak oleh mereka berdua raksasa itu membawa beberapa potong tali. Suaranya membelah hutan sekitar.
“Sekarang kalian akan mampus. Akan kuikat leher kalian dan akan kubuang kalian ke tengah laut, agar kalian menjadi santapan buaya”, geramnya.
“Cepatlah Dinda, jangan biarkan dia menghampiri kita. Dia sangat berbahaya kata Jompong Suar.
Segeralah Putri Mandang Wulan mengangkat bambu itu tinggi-tinggi sambil berkata.
“Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat raksasa itu. Kanda biarlah supaya kita aman menempuh perjalanan ini”, kata Mandang Wulan.
Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan keempat ditiupnya secara bersamaan. Yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah ajaibnya dari kuncup sekecil itu bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa yang galak dan jahat itu, sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya. Pekik kesakitan menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya terbelah membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendatipun raksasa yang kuat itu berusaha melepaskan diri tetapi jepitan tanah itu seolah-olah semakin kuat saja menjepitnya. Raksasa itu meraung-raung kesakitan. Tulang belulangnya remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar. Akhirnya sang raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa tertegun juga. Raksasa yang selama lebih dari setahun dipanggilnya dengan nenek itu kini telah tewas. Ada juga kesedihan yang menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah dibuat tersiksa oleh raksasa itu. Selama dalam sekapan raksasa itu, sang raksasa ternyata tidak pernah menyakiti tubuhnya. Tetapi raksasa itu tetap saja punya tujuan akhir untuk membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala penderitaan itu. Dalam kelelahan perjalanan itu Mandang Wulan mulai berbicara.
“Kini amanlah perjalanan kita Kanda. Bersyukurlah kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan diselamatkan”, kata Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuju kampung halaman yang letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai putri seorang raja yang masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana tidak banyak mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehinga dalam perjalanan kerap kali dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung atau nama desa yang dilaluinya.
Kangen dan rindu kampung halaman, rindu kepada ayah bunda, dan sanak saudara kian hari kian memuncak. Perjalanan yang sulit, jauh, dan melelahkan itu seolah tidak dipedulikan lagi. Lebih-lebih bahaya yang paling besar telah mereka atasi berdua. Mereka terus berjalan. Akhirnya mereka sampai di batas kota. Tiba-tiba Mandang Wulan bertanya kepada Jompong Suar.
“Kanda kalau boleh Dinda bertanya di kerajaan mana gerangan tujuan kita sekarang, dan siapakah pula paduka raja yang telah menjatuhkan hukuman itu”, tanya Mandang Wulan. Belum sempat Jompong Suar menjawab, Mandang Wulan melanjutkan lagi pertanyaan. “Bagaimana seandainya bambu yang Kanda persembahkan ini ditolak oleh sang Paduka Raja, karena boleh jadi tidak serupa dengan bambu yang dimaksudkan?”,
Mendapat pertanyaan itu Jompong Suar tertegun. Memang benar, sekiranya paduka Raja menyatakan bahwa bukanlah bambu itu yang dimaksudkan, maka tentulah sesuai dengan janji baginda bahwa kepadanya akan diberikan hukuman yang lebih berat lagi. Namun hukuman itu tidak jelas dan tidak diketahui bentuknya. Jompong Suar menyadari bahwa Mandang Wulan sedang merisaukan nasib mereka berdua. Sekiranya Jompong Suar mendapat hukuman yang lebih berat tentunya Mandang Wulan akan mengalami nasib yang tidak jelas pula. Akankah dirinya dapat bertemu dengan ayah bundanya atau akan ikut dihukum oleh sang Raja sekiranya raja itu adalah raja yang kejam. Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di dalam diri mereka. Atas pertanyaan Mandang Wulan kemudian Jompang Suar menjawab.
“Tenangkanlah pikiran dan perasaan dinda. Jangan terlalu dipikirkan berbagai nasib buruk yang mungkin kita alami. Bagiku sudah mantap karena dulu ketika menerima hukuman ini dari baginda Raja aku sudah berjanji kepada baginda Raja dan kepada diriku sendiri. Aku akan menanggung apapun akibat dari semua ini”. Kata Jompong Suar menenangkan hati Putri Mandang Wulan.
“Tidak Kanda, akupun akan ikut memikul tanggugjawab. Tak sampai hati dinda membiarkan Kanda menderita seorang diri. Bukankah kita telah berjanji untuk sehidup semati dan takkan berpisah lagi?” ucap Putri Mandang Wulan.
Mendengar itu Jompong Suar kemudian melanjutkan pembicaraan.
“Dinda, untuk langkah awal, sebelum menuju kepada baginda raja, dimana kanda akan menyerahkan bambu ini, maka sebaiknya kita berdua meneruskan perjalanan menuju ke kampung halamanmu untuk mengantarkanmu kepada kedua orangtuamu. Setelah itu barulah aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke istana raja kami yaitu Paduka Raja Buntar Buana”, kata Jompong Suar.
Mendengar itu Mandang Wulan sangat terkejut bercampur gembira karena ternyata Paduka Raja yang menjatuhkah hukuman kepada Jompong Suar, untuk mencari bambu emas itu, tidak lain adalah orang tuanya sendiri Raja Buntar Buana.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar.
Bersegeralah mereka menuju ke istana Raja Buntar Buana. Setelah mereka sampai ke pintu gerbang istana, Jompong Suar menjelaskan kepada para pengawal istana akan maksud dan tujuannya ke istana, dan mohon izin untuk menghadap Paduka Raja Buntar Buana. Maka pengawalpun segera melaporkan kepada Baginda Raja akan adanya tamu yang bernama Jompong Suar berserta seorang gadis remaja yang cantik. Baginda Rajapun segera memerintahkan pengawal untuk mengizinkan Jompong Suar masuk ke istana. Akan halnya Mandang Wulan, tidak ada di antara pengawal yang mengenalnya karena telah setahun lebih sang putri ini menghilang. Mandang Wulan dan Jompong Suar juga mencoba menahan diri untuk tidak memberikan keterangan kepada siapapun tentang sang Putri.
Maka masuklah mereka keruang istana, dimana Raja Buntar Buana berada di singgasana kerajaan itu. Di ruang istana telah ada pula permaisuri yaitu ibunda dari Putri Mandang Wulan. Di samping itu segenap menteri dan punggawa juga hadir. Jompong Suar dan putri Mandang Wulan segeralah duduk bersimpuh untuk mengatur sembah. Seluruh isi istana di ruangan itu menatap kepada Mandang Wulan, nampaknya permaisuri tergetar batin dan jiwanya seolah-olah anaknya yang hilang setahun lalu kini ada di hadapannya. Perasaan yang sama dialami juga oleh baginda Raja Buntar Buana dan seluruh unsur pemerintahan istana. Mandang Wulan menatapi kedua ayah bundanya itu. Nampaknya permaisuri tak kuasa menahan perasaanya untuk segera mengetahui siapa sebenarnya gadis yang bersama dengan Jompong Suar, yang kini berada di hadapannya. Lalu permaisuri berucap.
“Kakanda Baginda Raja, sungguh wajah gadis ini sangat mirip dengan Putri kita Mandang wulan”, kata permaisuri.
Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri, Mandang Wulan juga sudah tak dapat menahan haru.
Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri, Mandang Wulan juga sudah tak dapat menahan haru.
“Benar Bunda Ratu dan Ayahanda Raja, hamba adalah Putri Mandang Wulan”, kata sang putri sambil menghambur memeluk kedua orangtuanya itu. Suasana jadi berubah, penuh tangis keharuan. Mereka berpelukan penuh kebahagiaan. Putri yang menghilang lebih setahun lalu kini telah kembali. Maka segeralah tersebar berita itu ke seluruh pelosok kerajaan.
Raja Buntar Buana dan seluruh istana serta rakyat kerajaan sangat bersuka cita. Kini Jompong Suar yang dihukumnya telah berhasil melaksanakan hukuman dengan penuh tanggungjawab. Bukan saja bambu itu yang telah diperoleh oleh Baginda Raja, tetapi yang tak ternilai harganya adalah putri baginda Mandang Wulan telah pula ditemukan. Seluruh rakyat mengelu-elukan baginda Raja.
Akhir cerita, cinta kasih yang telah bersemi antara Jompong Suar dan Mandang Wulan segeralah mendapat restu dari baginda Raja dan Permaisuri, beserta seluruh keluarga istana. Jompong Suar dianugerahi gelar ‘Pangeran’ dan dikawinkan dengan Putri Mandang Wulan.
Mereka berdua kini hidup rukun penuh kebahagiaan.
Sumber : Website Pemkab Sumbawa