Perpres No 54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa untuk Pemerintah dianggap memberi peluang korupsi yang sangat luas. Peraturan yang dikeluarkan Presiden SBY ini membolehkan penunjukan langsung (PL) untuk proyek dengan nilai hingga Rp 100 miliar. "Padahal di Kepres No 80/2003, produk dari zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, PL hanya sampai nilai Rp 50 juta," kata Jonni Oeyoen dari Transparency International (TI) Indonesia di Balikpapan Minggu (5/12).
Menurut Jonni, dengan pejabat pemegang kuasa lelang boleh menunjuk siapa-siapa untuk mengerjakan proyek yang nilainya hingga Rp100 miliar, maka kolusi, korupsi, dan nepotisme akan mendapat tempat leluasa. "Peluang korupsi dibuka sendiri oleh pemerintah," sambung Jufri, direktur eksekutif perkumpulan Stabil, LSM pemerhati masalah-masalah kota di Balikpapan.
"Kami mengajak teman-teman masyarakat sipil untuk lebih mengetatkan lagi pengawasan terhadap proses-proses pelelangan pengadaan barang dan jasa ini," tegas Jonni.
Patut diduga, kata Jonni, dengan nilai proyek sebesar itu, para pengusaha penyedia barang dan jasa sangat mungkin menghalalkan segala cara, termasuk memberi gratifikasi untuk mendapatkan proyek tersebut. Seperti dilaporkan sendiri oleh kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Rahardjo, pekan lalu, 80 persen kasus korupsi yang ditangani kejaksaan hingga KPK berasal dari pengadaan barang dan jasa.
Di Kaltim, disebutkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Dachamer Munthe, selama Januari-Oktober 2010, terjadi 108 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 700 miliar. Hampir seluruhnya juga berasal dari pengadaan barang dan jasa.
Meski kini proses lelang melalui electronic procurement (e-proc) atau cukup melalui email, dimana penawaran perusahaan penyedia barang dan jasa cukup disampaikan melalui email, bukan berarti korupsi dan kolusi bisa langsung dihapus. Apalagi korupsi memiliki banyak bentuk. Seperti dikatakan Jufri, modusnya tidak hanya penggelembungan harga, tapi juga bisa mengurangi mutu barang atau pekerjaannya.
Pendapat Zulfahmi
Jonni Oeyoen dari Transparency International (TI) kali ini salah membaca, dan berbicara tentang Pengadaan Langsung (PL) yang tercantum di Perpres 54/2010. Yang dibolehkan (pasal 39) cuma sampai Rp 100 juta bukan Rp 200 milyar. Jadi dapat dikatakan Perpres tersebut hanya melakukan penyesuaian harga sesuai akumulasi inflasi dari tahun 2003-2010. Hati-hati berpendapat.