Senin, 13 Desember 2010

Pandangan Lemhanas atas RUUK DI Jogyakarta

Universitas Gadjah Mada (UGM) Selasa (4/1) hari ini memperingati pindahnya ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Jakarta ke Yogyakarta, 4 Januari 1946 lalu. Peringatan tersebut dilakukan rutin oleh UGM sejak tahun 2007. Pasalnya kelahiran UGM juga berawal dari pindahnya ibukota NKRI ke Yogyakarta tersebut.
Tanggal 4 Januari 1946 Ibukota NKRI Pindah ke Yogyakarta
Berdasarkan sejarah kata Ketua Pusat Studi Pancasila UGM yang juga anggota Senat UGM, Prof Soetaryo, setelah Indonesia dinyatakan merdeka oleh Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VII mengirimkan surat ucapan selamat atas kemerdekaan itu. Tanggal 5 September 1945 Sultan dan Pakualam menyatakan bergabung dalam NKRI.

Namun saat Belanda kembali datang ke Indonesia ketika membonceng Sekutu, keamanan Jakarta sebagai ibukota NKRI terancam. Belanda bahkan bisa menduduki Jakarta  29 September 1945. Tanggal 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibukota NKRI dipindah ke Yogyakarta. Tawaran Sultan diterima oleh Soekarno, sehingga  tanggal 4 Januari ibukota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta.

"Yang menarik kenapa pilihan pindahnya ibukota saat itu ke Yogyakarta, bukan ke daerah lain seperti Solo, Semarang atau Balikpapan? Ini menarik untuk kita kupas dan kita gali lebih jauh," terangnya.

Diakui Soetaryo, pilihan Soekarno untuk menerima tawaran Sultan tersebut bukan tanpa alasan. Yogyakarta menurutnya adalah daerah yang paling siap menerima kemerdekaan Indonesia. Yogya yang pertama kali menyiarkan kemerdekaan Indonesia melalui Masjid Gedhe Kauman setelah diproklamasikan di Jakarta.

"Dipilihnya Yogya karena Bung Karno tidak main-main. Yogya merupakan daerah yanhg paling siap, dari sisi politik, ekonomi bahkan keamanan, Yogyakarta paling siap saat itu," tandasnya.

Hal itulah yang juga menjadi bagian keistimewaan Yogyakarta. Menurutnya Kraton Yogyakarta di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX memiliki andil besar dalam sejarah berdirinya NKRI. Bahkan saat agresi militer Belanda ke II saat Yogyakarta diserang Belanda tahun 1949 saat banyak pimpinan negara yang ditawan Belanda, Sultan bahkan menyiapkan pemerintahan darurat.

Namun Yogyakarta kembali bisa direbut dalam perang rakyat 1 Maret 1949 dan pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta. Tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta tiba kembali di Yogyakarta dari pengasingan dan tanggal 17 Desember 1949 di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta (bukan di Gedung Negara), Soekarno dikukuhkan sebagai Presiden RI. "Saat itu Sultan menyerahkan dana 6 juta gulden untuk menjalankan pemerintahan Indonesia kepada Soekarno, karena pemerintah memang belum memiliki dana untuk menjalankan roda pemerintahan," tegasnya.

Pendapat Zulfahmi
Sejarah yang dituliskan di atas memang benar. Sultan berjasa dalam berdirinya NKRI. Namun fakta menjelaskan bahwa Sultan Yogyakarta pun butuh bergabung dengan negara yang diproklamirkan Soekarno-Hatta, saling membutuhkan, jelasnya. Proporsional sajalah, tak usah berlebihan, sehingga menuntut lebih istimewa, keluar dari kerangka UUD 1945.

Muladi: Referendum Yogya Jalan Terakhir
Republika 13-12-2010
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Prof Muladi mengatakan, referendum merupakan jalan terakhir dalam mengakhiri polemik penetapan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Muladi mengharapkan hal itu tidak terjadi.
"Referendum jalan terakhir. Ini masih proses demokratisai, demokratisasi itu tidak boleh emosional," imbuh Muladi usai mengikuti penerimaan peserta Program Pendidikan Reguler Lemhanas angkatan XLV oleh Presiden di Istana Negara, Senin (13/12).

Muladi mengimbau Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebaiknya bertemu pihak Keraton Yogyakarta. "Tapi, ternyata imbauan saya ini didahului oleh DPR. DPR kan sudah partai politik, kalau sudah parpol tentu ada permainan atau kompetisi politik," katanya.

Dia menambahkan, "DPR seharusnya mendengarkan Keraton Yogyakarta dan Mendagri jangan sampai ketinggalan. Mendagri yang mengambil inisiatif. Itu kalau ketinggalan dia nanti akan kalah dengan DPR," ujar Muladi.

Alasannya, pemerintah hanya mengusulkan Undang-Undang, tapi kunci pengesahan tetap ada di DPR. "Mendagri harus betul-betul antisipasi. Proses ini masih penuh dengan emosi. Saya minta Sri Sultan dan kerabatnya jangan sampai emosi," ujarnya.

Muladi berharap masalah itu diselesaikan dengan kepala dingin. "Jangan terus keluar dari partai karena ini belum selesai, masih panjang perjalanannya. Saya lihat Sultan dan kerabatnya terlalu emosional menghadapi seperti ini, harus tenang karena ini menjadi contoh untuk penyelesaiannya," katanya.

Bagaimana tentang pemilihan gubernur secara demokratis di DIY? "Status keraton itu harus tetap. Kalau terkait gubernur ditetapkan atau dipilih tergantung pembahasan di DPR. Belum tentu aspirasi rakyat Yogya sama dengan pemerintah, belum tentu sama dengan Sultan," kata dia.

Pendapat Zulfahmi

Keraton emosional, tidak bersikap rasional, karena menyangkut aliran dana pemerintah pusat, yang otomatis akan beralih ke gubernur yang dipilih secara demokratis. Sementara penguasaan 70 % tanah negeri Jogya belum dioptimalkan Sultan memakmurkan kraton, warga dan bumi Jogyakarta. Mari tanam pohon.