Kamis, 02 Desember 2010

Pendapat Tokoh mengenai Gubernur Jogyakarta



Walikota Yogyakarta Herry Zudianto mengaku belum menerima surat tembusan teguran menteri Dalam negeri Gamawan fauzi pada dirinya. Teguran itu terkait pemasangan bendera setengah tiang oleh dirinya.

"Saat ini, saya belum mendapatkan teguran dari gubernur. Tembusan surat teguran dari Menteri Dalam Negeri yang ditujukan ke saya pun belum saya terima," kata Herry di Yogyakarta, Senin (3-1-2011).

Ia mengaku masih menunggu panggilan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta terkait surat teguran dari Menteri Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk memberikan teguran kepada Herry Zudianto karena mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai perwujudan sikap atas polemik keistimewaan DIY.

Herry mengatakan, justru mengetahui adanya surat teguran tersebut dari pemberitaan di media, sehingga secara pribadi belum pernah membaca surat tersebut secara langsung. "Saya tidak akan memperkeruh suasana dengan berkomentar terlalu banyak. Sekarang, saya tunggu panggilan dari gubernur dulu," lanjutnya.
Walikota Yogyakarta Belum Terima Tembusan Surat Teguran Mendagri
Apabila nanti dipanggil oleh gubernur dan mendapat teguran, Herry mengatakan, akan menyikapinya dengan hati "Merah Putih".

Pada 12 Desember 2010, bertempat di kediaman pribadinya, Herry Zudianto sebagai warga masyarakat Yogyakarta mengibarkan bendera Merah-Putih setengah tiang sebagai wujud keprihatinan atas polemik keistimewaan Yogyakarta yang tidak kunjung menemui titik temu.

Selain mengibarkan bendera setengah tiang, Herry juga membaca puisi dengan judul "Jangan Lukai Merah Putih" dengan harapan seluruh elemen bangsa dan pemerintah pusat dapat memaknai amanat Sri Sultan Hamengku Buwono dengan hati "Merah Putih". Saat membaca puisi dan mengibarkan bendera setengah tiang tersebut, Herry mengatakan bahwa ia bukan bertindak atas nama Walikota Yogyakarta melainkan warga masyarakat yang lahir dan tinggal di Yogyakarta.



Pendapat Zulfahmi
Walikota Yogyakarta Herry Zudianto layak ditegur karena telah lancang mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai wujud keprihatinan atas polemik keistimewaan Yogyakarta. Sebagai kepala daerah ia mestinya memperhatikan dan menghormati lembaga yang berwewenang membahas dan melegitimasi suatu UU.


Budayawan Emha Ainun Nadjib mensinyalir adanya kepentingan kapitalisme nasional dan global dibalik polemik Rancangan Undang-undang keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa  Yogyakarta (DIY) antara pemerintah pusat dan masyarakat Yogyakarta.
Awas! Ada Kepentingan Kapitalisme Dibalik RUUK DIY

Kepentingan kapitalisme tersebut menurut Emha, terkait perebutan saham penambangan pasir besi di wilayah Kabupaten Kulonprogo DIY.

"Kalau boleh teman-teman wartawan mencari sisi lain karena itu juga hanya output ketidakadilan global. Ada juga tema-tema kapitalisme di belakang itu. Ada urusannya sama pasir besi, perebutan saham dan seterusnya," terangnya.

Diakui Emha, polemik tentang  keistimewaan DIY itu semuanya bermuara pada saham industri pasir besi tersebut. "Semuanya urusan saham. Urusan pasir besi lah, yang omsetnya sangat besar, maka tidak dibiarkan Yogya ini  kaya sendiri harus ada yang tanda tangan saham dari Jakarta kan gitu dan seterusnya," tandasnya.

Karena itu Emha berharap selain keistimewaan,  masyarakat Yogyakarta juga bisa menunjukan keistimewaan tersebut berupa mengetahui  " hal-hal di balik layar".



Tanggapan Zulfahmi
Kekuasaan dan kemuliaan bila tidak digunakan dengan benar oleh Sultan untuk memakmurkan tanah dan rakyat, dapat mengundang bencana, seperti meletusnya Merapi klimaksnya kota Yogyakarta akan lenyap ditelan bumi. Ingat letusan Tambora 10-4-1815 telah lenyapkan 3 kerajaan di Sumbawa dan merubah cuaca bumi selama setahun.


Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsudin menegaskan, penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) bukanlah anti demokrasi. Menurut Din, dari tingkat pusat hingga cabang, Muhammadiyah setuju dengan pandangan DPRD Yogyakarta yang menyetujui penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

"Secara historis, sosiologis dan budaya, penetapan Gubernur Sri Sultan Hamengku dan wakil gubernurnya merupakan langkah terbaik. Saya tidak melihat ini  anti demokrasi atau  bertentangan dengan demokrasi," tandas Din Syamsudin kepada wartawan usai acara wisuda Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (UHAMKA) di JCC (Jakarta Convention Center) Selasa (21/12).

Din kemudian mengungkapkan apa yang dimaksud dengan historis, sosiologis serta budaya. Kesultanan Yogyakarta telah memberikan peran dan jasa yang sangat besar terutama di masa-masa setelah kemerdekaan. Bahkan, Yogyakarta sempat menjadi ibu kota. ''Peran historis, sosiologis dan budaya itu tidak boleh kita lupakan,'' tandas Din mengingatkan.

Menurut Dien, dalam berdemokrasi ada kearifan demokrasi dengan memperhatikan setting kultural dan historis. ''Kita harus kreatif  dengan kearifan demokrasi bahwa Kesultanan DIY sesungguhnya juga bukan monarki tetapi  simbol kesejarahan dan pengakuan kultural,'' papar Din.

Secara terus terang, Din mengakui Muhammadiyah termasuk 10 lembaga agama yang menyetujui penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Siapa pun kata Din, baik presiden, wakil presiden, menteri, parpol serta fraksi jangan melupakan jasa dan sejarah yang telah dilakukan Kesultanan Yogyakarta. "Siapapun, presiden, wakil presiden, menteri, parpol dan fraksi  jangan melupakan sejarah. Ingatlah pesan Bung Karno  "jas merah" atau jangan lupakan sejarah," tegas Din.

Dien lalu mengungkapkan alasan Muhammadiyah setuju dengan penetapan itu, karena melihat latar belakang  historis kesultanan DIY amat besar jasanya bagi Republik Indonesia. Pada masa penjajahan lalu, DIY  menjadi bagian integral NKRI serta pernah menjadi ibukota pemerintahan pusat. "Jadi  Muhammadiyah  mendukung keistimewaan kesultanan DIY,jangan otak atik dan tidak  ada urgensinya.Kita jangan menafikan setting kultural dan jangan out of contex ," tandas Din.



Pendapat Zulfahmi
Untuk menghormati UUD 1945 yang memelihara keistimewaan suatu daerah termasuk Yogyakarta dengan mengenang segala kebaikan dan jasanya kepada RI. Maka kita perlu melestarikan keberadaan Yogyakarta di muka bumi, di antaranya gubernur dipilih secara demokratis. Agar kelak tidak ada gubernur Yogya yang kurang akal, masih anak-anak atau gemar maksiat, sehingga menjadi sebab bumi menelan negeri Yogya.


Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Tjahjo Kumolo, menyatakan sikap Mendagri Gamawan Fauzi tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta sama sekali tidak menghormati aspirasi rakyat.

Mendagri Gamawan Tidak Hormati Rakyat Yogyakarta



"Pernyataan seorang menteri yang menafikkan keputusan Paripurna DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga DPRD Bantul, yang mayoritas fraksinya meminta penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur, jelas tidak menghargai aspirasi rakyat banyak dan kontraproduktif dengan nilai-nilai demokrasi," katanya, Senin (20/12).

Sekjen DPP PDI Perjuangan yang juga anggota Komisi I DPR RI ini mengingatkan pula, apa pun hasil keputusan politik DPRRD tersebut, harus direspons secara bijak, karena bagaimana pun mereka merupakan representasi wakil rakyat banyak di sana.

"Bukan sebaliknya (Mendagri) menyatakan bahwa Keputusan DPRD DIY bukan keputusan mayoritas rakyat DIY. Ingat pula, DPRD itu sebagaimana amanat konstitusi, keputusannya dijamin oleh undang-undang," katanya.

Karena itu, demikian Tjahjo Kumolo, pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu, yang sangat terkesan tidak menghormati dan mendengarkan aspirasi rakyat DIY amat sangat disesalkan.

"Sebagai pembina politik dalam negeri, dia harusnya paham konstitusi. Kasihan Pemerintah (jika dipenuhi pejabat seperti ini)," ujarnya lagi.

Sebaliknya, menurut Tjahjo Kumolo, pihaknya bisa memahami bahkan memberi respek kepada Menko Polhukam dan Mensesneg yang dengan bijak serta arief bersikap memahami situasi kondisi daerah, demi keutuhan NKRI.



Pendapat Zulfahmi
Gubernur Yogyakarta memang lebih baik dipilih secara demokratis. Agar kelak tidak ada gubernur Yogyakarta yang kurang akal, masih kanak-kanak atau gemar maksiat, yang dapat terjadi karena salah dalam merancang sistem. Sultan HB IX baik, Sultan HB X baik, Sultan berikutnya belum tentu.


DPR menyoroti pernyataan dua menteri kabinet terkait isu RUU Keistimewaan Yogyakarta. Anggota FPDIP, Aria Bima, mengatakan ia mengapresiasi pernyataan Mensesneg Sudi Silalahi, tapi menyayangkan pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi.

"Pernyataan Pak Sudi (Silalahi) yang mengatakan pemerintah akan merespon hasil sidang rakyat Yogyakarta itu bagus. Ini setidaknya menghargai perasaan dan keinginan masyarakat," katanya, Kamis (16/12).

Menurut dia, perkataan Sudi sangat konstrukstif untuk meredakan polemik yang terjadi di kalangan masyarakat.

Sementara pernyataan Mendagri, Gamawan Fauzi, yang mengatakan sidang rakyat Yogyakarta tidak mewakili seluruh aspirasi masyarakat dianggapnya memperkeruh suasana. "Pernyataan Mendagri sangat tidak konstruktif dalam meredakan polemik. Sebaliknya pernyataan itu akan membuat pemerintah dibenturkan dengan masyarakat," katanya.

"Kalau pernyataan itu keluar dari seorang pemimpin partai politik, saya maklum. Tapi kalau itu keluar dari seorang menteri maka itu sangat disayangkan. Menteri itu harusnya wise dan bijak dalam memandang persoalan. Bukan justru menciptakan masalah baru," katanya.



Pendapat Zulfahmi
Pak Gamawan Fauzi tidak salah mengatakan sidang rakyat Yogyakarta tidak mewakili seluruh aspirasi masyarakat, karena itu adalah real, dan kegiatan tsb termasuk saluran emosional dan irreguler. Kita tidak rela bila kelak Jogya dipimpin orang fasik, masih anak-anak, kurang akal atau gemar destruktif. Jogya harus makmur.


Syafi'i Ma'arif: Keistimewaan Yogyakarta Tak Perlu Diganggu


Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafi'i Ma'arief mangatakan, keistimewaan Yogyakarta tidak perlu diganggu dengan isu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. "DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) disinggung-singgung seolah mencederai demokrasi dan UUD 1945, itu dari mana? Bahkan UUD 1945 sendiri mengakui keistimewaan Yogyakarta," katanya di Jakarta, Rabu.

Ia menambahkan, secara kesejarahan, justru Yogyakartalah yang menjaga Indonesia dan demokrasi di Indonesia tetap dapat berjalan. Ia mengatakan, tanpa peran Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX, yang rela membiayai keberadaan negara Indonesia di masa revolusi, sulit untuk membayangkan negara Indonesia dan demokrasi itu ada. "Untuk itu, pemerintah tak perlu buat gara-gara dan 'goro-goro'. Kalau ini namanya gara-gara dan goro-goro," katanya.

Seperti diberitakan, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan ketidakcocokan antara monarki dan demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendapatkan tanggapan dari banyak pihak.

Pernyataan Presiden kemudian dijabarkan dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan diusulkan dengan memuat pasal terkait pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Padahal selama ini Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang diistimewakan memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur yang ditetapkan, yaitu sultan dari Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alam. Namun dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta yang akan diajukan, mengubah penetapan menjadi pemilihan secara langsung. Hal itu memicu berbagai aksi penolakan di Yogyakarta.



Pendapat Zulfahmi
Hanya tauhid yang tak bisa diganggu. Kalau sistem pemerintahan Jogyakarta malah harus ditata ulang, agar bumi dan warga Jogya bisa makmur. Kita tidak rela bila kelak dipimpin orang fasik, masih anak-anak, kurang akal atau gemar membuat kerusakan di bumi Jogya. Kraton lebih baik fokus memakmurkan 70 % tanah Jogyakarta.

Kaus Lambang Keraton Yogyakarta Laris Manis
Lambang Kesultanan Jogyakarta


Pemerintah menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta kepada DPR pada Kamis (16/12) ini. RUU itu diserahkan kepada DPR untuk dibahas dan disahkan menjadi Undang-Undang. Penyerahan RUU Keistimewaan DIY ke DPR dilakukan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Amanat Presiden (Ampres).
Ampres ini digunakan sebagai pengantar sebuah RUU yang diserahkan kepada DPR. "Hari ini akan diserahkan ke DPR," kata Juru Bicara Kepresidenan Julian A Pasha, Kamis (16/12). Saat ini, Presiden masih berada di Semarang, Jawa Tengah dalam rangka kunjungan kerja. Presiden akan tiba di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Kamis (16/12) petang.
Sebelumnya, Staf Khusus Presiden bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Vernand Wanggai mengatakan, penyelesaian UU Keistimewaan DIY ini merupakan amanat konstitusi, khususnya Pasal 18B Ayat 1 UUD 1945. "Pemerintah ingin memberikan kepastian payung hukum yang jelas perihal otonomi asimetris bagi Yogyakarta," ujarnya.
Pemerintah, kata Velix, menyusun RUU ini tidak diletakkan dalam kerangka politik praktis, namun diletakkan dalam kerangka menyusun tatanan otonomi asimetris yang dapat memadukan pilar Keistimewaan, pilar NKRI, dan pilar nilai-nilai demokrasi. Dalam menyusun RUU ini,prinsip-prinsip ke-bhinneka-an, kekhususan, hak asal-usul daerah, kerakyatan, dan sosial budaya selalu dikedepankan oleh pemerintah.



TK: Presiden SBY dan Sultan HB X 'Dikerjain' Orang
Taufik Kiemas, Ketua MPR

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufiq Kiemas mengatakan, polemik soal RUUK DIY kemungkinan dimanfaatkan orang lain untuk seolah-olah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Sultan HB X saling berbenturan.
"Ini mungkin Presiden SBY dan Sultan HB X 'dikerjain' orang. Indikasi ke arah situ ada," kata Ketua MPR Taufiq Kiemas di gedung DPR-MPR-DPD Senayan Jakarta, Rabu (15/12).
Lebih lanjut Taufiq menjelaskan, soal indikasi kemungkinan isu soal RUUK DIY ini dimainkan orang karena drafnya saja belum masuk namun sudah terjadi polemik.
"Dalam sepanjang sejarah baru kali ini, draf RUU-nya saja belum diserahkan ke DPR, orang sudah bertengkar," kata Taufiq.
Karena itu Taufiq mendesak pemerintah segera memasukan draf RUUK DIY tersebut ke DPR. Selain itu tambahnya, Mendagri Gamawan Fauzi berhenti berkomentar soal ini selama draf RUUK tersebut belum ditanda tangani presiden.
"Sementara Sultan HB X juga harus berjiwa besar. Sebagai Sultan dan gubernur DIY segera hentikan pengibaran bendera Kasultanan dan spanduk-spanduk," kata Taufiq.
Menurut Taufiq polemik soal RUUK DIY sebenarnya tidak ada apa-apa. Semua itu tambahnya hanya sekedar wacana. Menurut Taufiq Kiemas, kedua tokoh nasional baik Presiden SBY dan Sri Sultan HB X merupakan tokoh-tokoh yang menghayati benar empat pilar berbangsa dan bernegara.
Karena itu, Taufiq Kiemas yakin tidak ada persoalan serius diantara keduanya. Dia juga membantah kekawatiran beberapa orang yang menilai polemik soal RUUK DIY ini mengarah pada ancaman perpecahan.
"Presiden SBY ini jagonya empat pilar begitu juga Sultan. Jadi keduanya sama-sama jago empat pilar," kata Taufiq Kiemas. Karena itu Taufiq Kiemas meminta semua pihak segera menghentikan polemik soal ini. Taufiq Kiemas mendesak pemerintah segera masukan RUUK DIY ke DPR.

Pendapat Zulfahmi
Sesuai pernyataan Patrialis Akbar Menkumham kemarin, ternyata draft RUUK DIY sudah cukup baik menempatkan posisi Sultan, di atas gubernur. Kayaknya pernyataan Sultan "tanya rakyat" yang terkesan emosional, yang menjadi pemicu warga Yogya bereaksi berlebihan.


Ibas: Stop Polemik RUU Keistimewaan DIY

Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) mengimbau agar penyelesaian polemik mengenai Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta diselesaikan dengan kepala dingin dan bijaksana.
"Jangan sampai berpolemik terlalu jauh sehingga kehilangan arah. Perbedaan pendapat ini harus bisa diselesaikan dengan kepala dingin, artinya bagaimana nilai-nilai demokrasi dan sistem keistimewaan DIY bisa berjalan selaras," imbaunya, Rabu (15/12). 
Putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menambahkan, perbedaan pandangan terkait RUUK Yogyakarta akhir-akhir ini sebenarnya merupakan satu hal yang lumrah. Sebab, polemik tersebut merupakan bagian yang tidak terelakkan dari sebuah proses pembentukan/penyusunan undang-undang yang berkualitas.
Menurut dia, ada mekanisme penggodokan di DPR RI yang harus dihargai prosesnya. "Partai Demokrat secara garis-besar menghargai seluruh pandangan maupun aspirasi yang berkembang, tetapi juga menginginkan proses ini berlangsung secara tenang dan semua mau berpikir jernih," ujarnya.
Karena itu, lanjut Ibas, terbuka sejumlah opsi atau pilihan kebijakan alternatif, mulai dari pengangkatan tanpa pemilihan (penetapan), pemilihan dengan suksesi kesultanan (demokrasi terpimpin), maupun pemilihan secara terbuka (demokrasi terbuka).
"Yang jelas, sistem kesultanan Yogyakarta tidak bisa dan tidak akan pernah dihilangkan, karena itu sudah menjadi bagian dari nilai budaya bangsa Indonesia. Partai Demokrat dalam hal ini juga tetap berpendapat bahwa Sri Sultan masih yang terbaik saat ini," tandasnya.


Wakil Ketua DPR dari Golkar, Priyo Budi Santoso, meminta Mendagri, Gamawan Fauzi, tidak menyepelekan aspirasi masyarakat Yogyakarta terkait RUU Keistimewaan DIY. Apalagi aspirasi masyarakat Yogya sudah dibuktikan lewat sidang rakyat yang dipadati ribuan warga, Senin lalu.
"Saya sarankan Mendagri jangan sepelekan aspirasi itu," kata Priyo, Selasa (14/12).
Kemarin Gamawan berujar sidang paripurna DPRD DIY tidak akan memengaruhi sikap pemerintah. Aksi penolakan dari masyarakat Yogyakarta yang kian meluas pun dikatakan Gamawan belum tentu mewakili pemikiran mayoritas masyarakat DIY.
Kendati mengaku memperhatikan aspirasi publik di sana, Gamawan mengatakan dari 3,5 juta penduduk Yogyakarta hanya sekian persen dari total penduduk yang turun ke jalan dan menyatakan penolakan atas usul pemerintah.
Hari ini, Gamawan kembali menegaskan kalau pemerintah tetap pada posisinya yaitu pemilihan gubernur DIY.

Rancangan undang-undang tentang keistimewaan Yogyakarta yang cepat tiba di dewan akan memberi fraksi serta komisi terkait memelajarinya dengan matang. Waktu yang cukup diharapkan bisa membuat dewan mengulas isi undang-undang dengan detil.

Menko Kesra Agung Laksono mengharapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak menjadi "bara" panas yang dapat menyulut emosi masyarakat. "Jangan menjadi bara panas, karena seperti yang dikatakan Menko Polhukam Djoko Suyanto proses ini masih berjalan dan belum final, masih berupa draf," kata Agung Laksono dengan kapasitasnya sebagai Menko Kesra di Kantor Kemenko Kesra Jakarta, Selasa.

Dia mengharapkan semua pihak bisa mengawal pembahasan ini dengan kepala dingin dan tidak dengan emosional serta membuka ruang sebesar-besarnya untuk diskusi.

Agung menilai Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta seperti hal nya RUU lainnya harus melewati proses dan mekanisme. "Seringkali ada perbedaan konsep atau pandangan yang dialami demokrasi dipandang sebagai dinamika biasa," katanya.

Oleh karena itu, dia mengharapkan seluruh masyarakat bisa menghormati proses berjalannya demokrasi agar prosesnya bisa berjalan dengan baik.

Dia juga mengatakan pemerintah tetap menghargai keistimewaan Yogyakarta dan nilai sejarah serta kontribusi yang besar dalam menciptakan NKRI. "Namun demikian, masyarakat juga diharapkan tetap menghargai konstitusi dimana pemilihan kepala daerah harus mendapat mandat dari rakyat baik secara langsung maupun melalui pemilihan di DPRD," katanya.

13-12-2010
Pemerintah diimbau untuk menyelesaikan persoalan sistem pemerintahan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta dengan kepala dingin. Draft RUU Keistimewaan DIY versi pemerintah hendaknya disesuaikan dengan konsisi sosial masyarakat. Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua DPR, Pramono Anung kepada sejumlah wartawan di Gedung DPR, Senin (13/12).

Pramono mengatakan, pemerintah harus melakukan komunikasi yang baik dengan masyarakat Yogyakarta. "Seharusnya pemerintah menyikapi dengan kepala dingin supaya tidak menimbulkan hal-hal yang kontra produktif. Saya lihat persoalan ini seharusnya bisa dikomunikasikan secara lebih baik oleh pemerintah," kata Pramono.

Terkait opsi dalam draft RUU DIY dia mengatakan hal itu tak hanya wewenang pemerintah. DPR, lanjut Pramono juga memiliki wewenang dalam menentukan isi RUU tersebut. Karena itu, dia memandang pemerintah hendaknya jangan terlalu memaksakan pandangan 'pribadi'nya. "Keputusan bagaimana nantinya UU mengatur apakah penetapan atau pemilihan kepala daerah DIY, itu adalah dengan DPR. Itu masuk wilayah DPR," katanya.

Menurut Pramono tiap fraksi akan miliki sikap masing-masing. Tidak semua Fraksi menyetujui sikap pemerintah. "Seperti sikap PDIP sudah jelas," tambahnya.

Dengan pendekatan yang kurang persuasif, Pramono khawatir akan ada reaksi dari masyarakat. Hal itu, katanya, dapat menguras energi pemerintah dan juga masyarakat sendiri.

Persoalan dinilainya makin rumit ketika pemerintah seakan-akan tidak memiliki alternatif terhadap RUU DIY. Padahal dalam menentukan UU peran pemerintah tidak absolud melainkan harus berdiskusi dengan DPR. "Dalam menentukan UU itu bukan domain pemerintah, tapi itu juga domain DPR. Sedangkan DPR belum memiliki sikap apa-apa," katanya.

Dia mengatakan, semua opsi dalam RUU DIY terbuka. Karena itu juga butuh keterbukaan dari pemerintah dalam mendiskusikan masalah ini.

Tidak hanya pemerintah dan DPR, rakyat pun dinilai Pramono memiliki peran penting. Oleh karena itu mempertimbangkan aspirasi masyarakat harus menjadi semangat utama sebelum menyusun RUU.

"Yang dituntut masyarakat Yogyakarta bukan semata-mata soal pemilihan ato penetapan Gubernur, tapi masyarakat menuntut komitmen berdirinya negeri ini. Apa yang dilakukan Hamengku Buwono IX bersama Presiden Soekarno waktu berdirinya republik ini itulah yang dituntut masyarakat yogya. Itu persoalan sebenarnya yang wajib diperhatikan pemerintah," tutup Pramono.

Pendapat Zulfahmi
Pak Pramono Anung, polemik yang berkembang tentang RUUK DIY masih wajar, masih dalam koridor dan insyaallah dengan kepala dingin. Yang tidak disukai aksi referendum atau pernyataan Sultan dan Kibagushadikusumo serta aksi pengibaran bendera 1/2 tiang oleh walikota Jogyakarta.


Fraksi Partai Golkar akan mendukung aspirasi terbesar masyarakat Yogyakarta pada suksesi kepala daerah apakah menginginkan penetapan atau pemilihan. "Fraksi Partai Golkar sudah melakukan survei internal dan mempelajari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei independen," kata Ketua Fraksi partai Golkar DPR RI, Setya Novanto, di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (6/12).

Menurut Novanto, dari hasil survei tersebut masyarakat Yogyakarta lebih banyak yang menginginkan agar dilakukan penetapan Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur. Penetapan atau pemilihan terhadap jabatan gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta akan diatur melalui undang-undang (UU) Keistimewaan Yogyakarta. "Saat ini, darf RUU Keistimewaan Yogyakarta masih berada di pemerintah dan baru akan disampaikan ke DPR," katanya.
FPG Akan Dukung Aspirasi Masyarakat Yogyakarta
Setelah RUU tersebut diterima DPR dan dibahas, menurut dia, DPR akan meminta masukan dari semua pihak terkait. Jika masukan-masukan menguatkan penetapan, dan fraksi-fraksi di DPR sepakat pada penetapan, Novanto mengimbau, aga pemerintah bisa mengapresiasi sikap fraksi-fraksi di DPR maupun masyarakat.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifn mengatakan, Fraksi Partai Golkar lebih cenderung mendukung penetapan Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Nurul, Partai Golkar sudah melakukan survei serta sudah mempelajari hasil survei dari lembaga survei kredibel mengenai aspirasi masyarakat Yogyakarta. "Hasil survei itu masyarakat Yogyakarta lebih menginginkan penetapan," katanya.



Pendapat Zulfahmi
Model 'penetapan kepala daerah' DI Jogyakarta tidak dikenal di pasal 18 (4) UUD 1945. Harus melalui pemilihan yang demokratis, yang selanjutnya akan diatur dalam UU Keistimewaan Jogyakarta. Perlakuan istimewa yg tidak lazim, dapat merangsang 3 daerah istimewa lainnya menuntut hal serupa. Jangan samakan RI dgn Belanda.


Wahai Indonesia…

DIY bukan propinsi kerdil yang dengan tolol ingin merebut dirinya untuk dimasukkan ke dalam keranjang yang bernama keistimewaan.

DIY bukan daerah jumud dengan penduduk yang berpikiran beku sehingga ingin menegakkan feodalisme dan kebanggaan kosong dari masa silam.

DIY bukan wilayah yang dihuni oleh warganegara yang butahuruf sehingga tidak memiliki pemahaman dan apresiasi terhadap apa yang disebut demokrasi.

DIY juga tidak punya nafsu untuk memamerkan peran warga terbaiknya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang pada momentum paling awal turut mendukuni lahirnya jabang bayi yang bernama Indonesia Raya.

Di rumah beliau yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat, yang saat itu juga beliau lebur, beliau relakan untuk menjadi bagian dari suatu keindahan baru yang bernama Republik Indonesia.

Bahkan rumah dan tanah beliau itu secara cuma-cuma beliau ikhlaskan untuk menjadi Ibukota Republik Indonesia, tanpa pernah menagih apapun sampai hari ini.

Keistimewaan Ngayogyakarta Hadiningrat bukanlah tagihan kepada Republik Indonesia agar Negara baru itu mengakuinya, sebab Ngayogyakarta Hadiningrat sudah lahir jauh sebelumnya, sudah ada, sudah hidup, bahkan turut menghidupi suatu proses perjuangan yang kemudian melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ngayogyakarta Hadiningrat adalah istimewa, bukan minta diistimewakan. (Nurcholish Madjid)


Ungkapan yang dikutip Wibisono Sastrodiwiryo di atas memang ada benarnya. Namun demikian tidak pasti benar bahwa Sultan Hamengkubuwono IX dan anak keturunannya tidak selamanya benar dalam bersikap dan keputusan-keputusannya. Warga Jogyakarta tetap berhak mengoreksi bila sultan melakukan kesalahan, karena sultan adalah manusia biasa yang juga lemah. Nabi dan Rasul saja pernah salah, konon lah lagi sultan. Sultan tidak perlu dianggap keramat, karena ia dikelilingi setan-setan yang selalu siap sedia menjerumuskannya.
Masa jabatan kepala daerah di Indonesia mustahil berlangsung seumur hidup, paling lama 2 periode saja, dan harus dipilih secara demokratis [pasal 18 (4) UUD 1945] melalui pemilu atau DPRD.
Keistimewaan Jogyakarta bisa terus istimewa jika bumi Jogyakarta makmur, pohon-pohon ekonomis ditanam dan dipelihara, tiada tanah kosong terlantar tanpa pohon, dan warganya tekun mengabdi hanya kepada Allah saja.


Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan H Djuwarto mengatakan, penetapan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu dari beberapa keistimewaan Yogyakarta."Keistimewaan Yogyakarta lainnya meliputi sejarah, budaya, dan pengeloalaan tanah," kata H Djuwarto di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu. Ia menjelaskan, dari aspek sejarah, Keraton Yogyakarta memiliki perjanjian dengan kolonial Belanda untuk tidak saling menyerang.


Sultan Minta Masyarakat Jogja Tentukan Nasibnya
Pada saat terjadi agresi militer tahun 1948, ibukota negara Indonesia dipindah ke Yogyakarta dan Sultan Hamengku Buwono IX memberikan perlindungan kepada Pemerintah Republik Indonesia. "Presiden Soekarno kemudian memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta sebagai daerah istimewa dan menetapkan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang diatur dalam aturan perundangan," kata Djuwarto.

Menurut dia, masyarakat Yogyakarta juga menginginkan agar perpanjangan masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta melalui mekanisme penetapan dari pemerintah pusat.

Aspirasi masyarakat Yogyakarta mulai dari masyarakat awal hingga kaum intelektual, kata dia, disampaikan melalui DPRD Provinsi DI Yogyakarta yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan keputusan DPRD. "Keputusan DPRD agar perpanjangan masa jabatan Gubernur DI Yogyakarta melalui penatapan kemudian disampaikan kepada pemerintah pusat dan DPR RI. Keputusan tersebut hingga saat ini belum dicabut," kata Ketua DPRD DI Yogyakarta periode 2004-2009 ini.

Djuwarto juga mempertanyakan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebut, tidak mungkin ada monarki dalam negara demokrasi. Menurut dia, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta yang dipimpin Sultan mematuhi semua aturan perundangan yang berlaku sehingga menjadi tidak mengerti jika disebut monarki.


"Persoalan utama pada suksesi di Yogyakarta bukan pada Sultan Hamengku Buwono X sebagai pribadi, tapi Sultan sebagai pengelola kelembagaan kesultanan," katanya.


Menurut dia, pada keistimewaan Yogyakarta yang paling prinsip adalah keberadan lembaga kesultanan yang dikelola oleh Sultan.

Kelembagaan kesultanan, kata dia, mengelola budaya dan tanah keraton yang luasnya mencapai 70 persen dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Tanah keraton ini diatur dalam UU Pokok Agraria dan menjadi salah satu keistimewaan Yogyakarta," katanya.

Jika pemerintah sampai mengusulkan suksesi di Yogyakarta melalui mekanisme pemilihan dan Yogyakarta tidak dipimpin oleh Sultan, menurut dia, maka lembaga kesultanan akan hilang dan keistimewaan Yogyakarta juga akan hilang.


Djuwarto mengimbau, agar dalam draf rancangan undang-undang (RUU) tentang Keistimewaan Yogyakarta yang akan disampaikan pwemerintah kepada DPR mengatur suksesi kepala daerah di Yogyakarta melalui mekanisme penetapan.


Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X menyerahkan sepenuhnya keputusan terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta pada keinginan masyarakat Kota Budaya tersebut. Pasalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat pembahasannya menyatakan, sistem kerajaan jangan berbenturan dengan demokrasi dan konstitusi.

"Drafnya belum masuk dan kita belum diundang. Ya terserah, tanya sama masyarakat, kedaulatan di tangan rakyat, jangan tanya sama saya," ujar Sultan di Balai Kepatihan DIY, Senin (29/11).

Perdebatan tentang RUU tersebut kian meruncing karena terkesan ada kesenjangan pemikiran antara Presiden SBY dan Sultan. Berawal pada 28 September lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih secara langsung atau ditetapkan, disepakati melalui referendum.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, kata penguasa Yogyakarta itu, tak bisa menentukan hal tersebut sendiri. "Yang berhak menentukan apakah Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan pemilihan atau penetapan adalah rakyat Yogyakarta sehingga ketika pemerintah pusat menentukan adanya pemilihan untuk jabatan gubernur dan wakil gubernur maka harus dilakukan referendum terlebih dahulu," kata Sultan.

Namun, pada Jumat (26/11) kemarin, Presiden memimpin rapat terbatas membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta. Saat membuka rapat itu, Presiden menyatakan, sistem kerajaan tidak boleh berbenturan dengan demokrasi dan konstitusi. Pernyataan SBY dalam rapat terbatas itu sudah dijelaskan lebih lanjut oleh Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah, Velix Wanggai. Presiden, kata Velix, sangat mendukung keistimewaan Yogya.

Sejalan dengan komitmen pemerintah mewujudkan pilar desentralisasi dan otonomi daerah yang menghargai warisan tradisi, hukum dan demokrasi, Presiden konsisten mendorong penyelesaian Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY).
Bagi Pemerintah, UU DIY adalah wujud nyata negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai, meminta keistimewaan Yogyakarta ini tidak hanya dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala daerah saja. Filosofi utamanya adalah negara mengakomodasi prinsip keistimewaan Yogyakarta ke dalam sisi kewenangan yang luas dan kewenangan khusus.

Velix menyampaikan hal itu terkait sikap pemerintah pada Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. "UU DIY merupakan wujud nyata negara untuk mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa," katanya, Ahad (28/11).

Negara menghormati pula kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, adat, beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Pemerintah diletakkan dalam tiga visi besar, yaitu mengakui dan menghormati sejarah keistimewaan DIY, pilar NKRI yang diamanatkan dalam UUD 1945, dan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi.

"Prinsipnya yaitu bagaimana mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang dalam satu dekade di era reformasi ini," katanya. Pemerintah tidak ada maksud untuk membenturkan konteks sejarah dan tradisi dengan sistem demokrasi dan hukum.

Menurut Velix, RUU DIY justru akan semakin memperkuat pengaturan posisi keraton. "Keraton akan lebih strategis dalam konteks kelembagaan pemerintahan dan pembangunan daerah," katanya. Presiden, ujar Velix, memahami posisi kultural dan warisan tradisi.

Dalam Sidang Kabinet Terbatas, Jumat (26/11), Presiden mengatakan, "Kita adalah negara hukum dan demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan," kata Presiden. Sistem monarki, ujarnya, tentu tidak mungkin bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi.

"Kehadiran satu undang-undang yang tepat sungguh diperlukan," kata Presiden. Posisi dasar pemerintah berkaitan dengan RUU Keistimewaan DIY, ujarnya, adalah menggunakan pilar NKRI. Hal itu sudah diatur secara gamblang dalam Pasal 18 UUD 1945.


Priyo: Pernyataan Presiden Tenangkan Masyarakat Yogyakarta


Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso, menilai klarifikasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pernyataan sebelumnya mengenai monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi, menenangkan masyarakat Yogyakarta. "Penjelasan Presiden Yudhoyono sedikitnya melegakan kami terhadap hal-hal yang terkait dengan keistimewaan Yogyakarta," kata Priyo Budi Santoso di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (2/12)

Menurut Priyo, ternyata Presiden Yudoyono memiliki pandangan yang sama dengan DPR untuk mempertahankan keistimewaan Yogyakarta. Dalam penjelasan tersebut, menurut dia, tampaknya Presiden Yudhoyono menghindari menyatakan kata "monarki" dan memilih kata-kata yang menyejukkan.Menurut dia, secara keseluruhan pernyataan Presiden Yudhoyono bisa menenangkan masyarakat Yogyakarta yang menjadi gelisah.

"Hal yang penting dari penjelasan dari penjelasan Presiden Yudhoyono adalah kepastian dari pemerintah dan semangat yang sama dengan DPR tentang Yogyakarta, yakni Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta," katanya. Namun Presiden Yudhoyono belum berani menyatakan soal mekanisme suksesi kepala daerah di Yogyakarta, karena rancangan undang-undang (RUU) tentang Keistimewaan Yogyakarta, memang belum dibahas.

Priyo berharap, pemerintah segera mengirimkan RUU Keistimewaan Yogyakarta ke DPR untuk segera dibahas. Dengan adanya kepastian dari pemerintah soal Sultan menjadi gubernur dan adanya pandangan mempertahankan keistimewaan Yogyakarta seperti yang disampaikan Presiden, Priyo memperkirakan, pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta akan menjadi lebih lancar.

Ditanya bagaimana sikap Partai Golkar terhadap keistimewaan Yogyakarta, menurut Priyo, sikapnya sejalan dengan aspirasi masyarakat Yogyakarta yakni ingin mempertahankan keistimewaan Yogyakarta. "Soal mekanisme suksesi di Yogyakarta, Partai Golkar juga mendorong agar dilakukan penetapan Sultan sebagai gubernur," kata Ketua DPP Partai Golkar ini.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa kepemimpinan dan posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada Sultan, serta Sultan Hamengkubuwono X tetap putra terbaik. "Dari sisi politik praktis, sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan republik ini saya berpendapat untuk kepemimpinan dan posisi Gubernur Daerah Istimewea Yogyakarta mendatang yang terbaik dan tepat tetap saudara Sri Sultan Hamengkubuwono X," katanya.



Penjelasan Presiden SBY tentang keistimewaan Yogyakarta dipandang Wakil Ketua DPR dari PDIP, Pramono Anung, dari perspektif berbeda. ''Saya melihat proses klarifikasi presiden dalam hal ini tidak menjawab permasalahan yang berkembang,'' kata Pramono. Ia berujar, memang tidak ada yang salah dalam pidato presiden tersebut. Hanya menurutnya apakah pemerintah pasti mendukung penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur DIY perlu masih belum terjawab.

Rancangan undang-undang DIY merupakan inisiatif pemerintah. Meski mengatakan kalau rancangannya akan disampaikan ke DPR di bulan ini, hingga kini belum ada kepastian kapan rancangannya diserahkan.

Sementara Wakil Ketua DPR dari Golkar, Priyo Budi Santoso, mengatakan penjelasan presiden itu telah mengukuhkan kekhasan Yogyakarta. ''Saya lega pemerintah semangatnya sama tentang pengistimewaan Yogyakarta,'' kata Priyo, Kamis (2/12). Priyo mengaku, merasa lega atas penjelasan tersebut. Kesalahpahaman yang timbul di publik diharapkannya bisa redam.

Mengenai penetapan Gubernur DIY, Priyo mengatakan, partainya akan mendorong agar penetapan gubernur dibahas dan tampak di rancangan undang-undang tersebut. Wakil Ketua DPR dari PDIP, Pramono Anung, namun melihat pidato presiden dari sisi yang berbeda.

''Saya melihat proses klarifikasi presiden dalam hal ini tidak menjawab permasalahan yang berkembang,'' kata Pramono. Ia berujar, memang tidak ada yang salah dalam pidato presiden tersebut. Hanya menurutnya apakah pemerintah pasti mendukung penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur DIY perlu masih belum terjawab.

Rancangan undang-undang DIY merupakan inisiatif pemerintah. Meski mengatakan kalau rancangannya akan disampaikan ke DPR di bulan ini, hingga kini belum ada kepastian kapan rancangannya diserahkan.


Posisi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, semakin terdesak terkait rencana perubahan sistem pemerintahan di Yogyakarta. Salah seorang politisi yang juga mantan anggota DPR RI, Marwah Daud Ibrahim, menyatakan, pemerintah sebaiknya tidak memaksakan kehendaknya kepada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

“SBY jangan memaksakan untuk mengubah sistem di Yogyakarta,” tegas Marwah yang ditemui Republika di kantor Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Warung Jati, Jakarta, Kamis (2/12) petang.

Menurutnya, sistem monarki bukanlah sebuah sistem yang buruk. Ia mencontohkan, Inggris, Belanda, Jepang dan bahkan Malaysia, tetap bisa maju dan menjadi negara modern meski masih menggunakan system monarki.

Selain itu, tambahnya, demokrasi pun tetap dapat berjalan dengan baik di negaranya masing-masing. Sedangkan di Indonesia, system monarki di Yogyakarta dan di banyak daerah lainnya di Indonesia, tidak perlu dipermasalahkan hanya karena dalih tidak adanya sistem demokrasi.

“SBY salah jika membuat pernyataan tidak baik. Kenapa tidak berjalan seiringan seperti negara-negara yang hingga saat ini tetap menjalankan monarki?” imbuhnya.

Ia juga menilai, pernyataan SBY tersebut juga tidak tepat untuk mengubah sistem di Yogyakarta setelah bencana Merapi melanda masyarakat di provinsi tersebut. Pasalnya, emosi masyarakat Yogyakarta tengah labil dan mudah tersulut emosinya.

Lagipula, tambahnya, perubahan sistem di Yogyakarta itu bukanlah sesuatu yang urgent untuk dibahas segera. Ia mengimbau, lebih baik SBY focus pada permasalahan yang lebih prinsip seperti masalah kemiskinan dan pengangguran. “Ini kan terkesan diada-adakan, terlepas ada kepentingan politis atau tidak. Dengarkan suara rakyat dan ajak dialog. Bukan sepihak seperti ini,” pungkas Presidium ICMI ini.

Ia menambahkan, kemarahan masyarakat Yogyakarta dapat membahayakan, apalagi hingga terjadinya referendum untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keutuhan NKRI, katanya, tergantung dengan keputusan SBY yang rencananya akan diputuskan hari ini (2/12).

Jika benar-benar terjadi referendum, daerah lain pun akan melakukan hal yang sama, terutama daerah yang masih kental sistem monarki seperti Maluku Utara dan Sulawesi Selatan. Pasalnya, Yogyakarta sebagai kerajaan terbesar saat ini, menjadi panutan daerah-daerah tersebut. “Ada daerah-daerah yang masyarakatnya lebih mendengarkan suara sultan atau rajanya daripada presiden. Aceh dan Papua pun kemungkinan akan melakukan referendum juga,” tuturnya.



Penjelasan Presiden SBY tentang keistimewaan Yogyakarta dipandang Wakil Ketua DPR dari PDIP, Pramono Anung, dari perspektif berbeda. ''Saya melihat proses klarifikasi presiden dalam hal ini tidak menjawab permasalahan yang berkembang,'' kata Pramono. Ia berujar, memang tidak ada yang salah dalam pidato presiden tersebut. Hanya menurutnya apakah pemerintah pasti mendukung penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur DIY perlu masih belum terjawab.

Rancangan undang-undang DIY merupakan inisiatif pemerintah. Meski mengatakan kalau rancangannya akan disampaikan ke DPR di bulan ini, hingga kini belum ada kepastian kapan rancangannya diserahkan.

Sementara Wakil Ketua DPR dari Golkar, Priyo Budi Santoso, mengatakan penjelasan presiden itu telah mengukuhkan kekhasan Yogyakarta. ''Saya lega pemerintah semangatnya sama tentang pengistimewaan Yogyakarta,'' kata Priyo, Kamis (2/12). Priyo mengaku, merasa lega atas penjelasan tersebut. Kesalahpahaman yang timbul di publik diharapkannya bisa redam.

Mengenai penetapan Gubernur DIY, Priyo mengatakan, partainya akan mendorong agar penetapan gubernur dibahas dan tampak di rancangan undang-undang tersebut. Wakil Ketua DPR dari PDIP, Pramono Anung, namun melihat pidato presiden dari sisi yang berbeda.

''Saya melihat proses klarifikasi presiden dalam hal ini tidak menjawab permasalahan yang berkembang,'' kata Pramono. Ia berujar, memang tidak ada yang salah dalam pidato presiden tersebut. Hanya menurutnya apakah pemerintah pasti mendukung penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur DIY perlu masih belum terjawab.

Rancangan undang-undang DIY merupakan inisiatif pemerintah. Meski mengatakan kalau rancangannya akan disampaikan ke DPR di bulan ini, hingga kini belum ada kepastian kapan rancangannya diserahkan.




PKS menilai pidato SBY tentang keistimewaan Yogyakarta masih meninggalkan ruang bagi pemilihan kepala daerah di Yogyakarta. Pidato presiden dianggap sebatas menjawab keresahan personal atas sosok Sri Sultan Hamengkubuwono X, ketimbang menjawab sistem pemilihan Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta.

''Saya anggap pernyataan itu sebagai persetujuan personal terhadap Sri Sultan,'' kata Wakil Ketua DPR dari PKS, Anis Matta, Kamis (2/12).
Bahwa, secara otomatis Sri Sultan Hamengkubuwono X akan kembali ditetapkan sebagai Gubernur DIY periode selanjutnya. Mengenai apakah setelah Sri Sultan X mangkat maka Gubernur DIY selanjutnya akan tetap dijabat Sri Sultan berikutnya, Anis melihat, SBY tidak tegas mengatakannya. ''Opsi itu jadi masih terbuka,'' katanya.

Alasannya, tidak ada penjelasan yang eksplisit dari Presiden SBY tentang itu. Pidato Presiden memang akan meredakan situasi. Tetapi, katanya, tidak menyelesaikan masalah. Anis berujar, sebelum pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang tentang DIY dan menyatakan Gubernur DIY ditetapkan bukan lewat pemilihan maka persoalan belum terjawab.

PKS sendiri berpegang pada keinginan rakyat Yogyakarta sebagai pendirian partai. Berdasarkan survei PKS, masyarakat Yogyakarta menginginkan Gubernur DIY ditunjuk lewat penetapan. ''PKS mendukung keinginan warga Yogyakarta,'' kata dia.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), meminta Pemerintah segera ‘menyatu’ dengan keinginan masyarakat Yogyakarta dalam memberikan salah satu aspek Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Fraksi PPP sendiri mendukung pola penetapan Sultan sebagai gubernur dan Pakualam sebagai wakil gubernur. “PP mendukung Sultan ditetapkan sebagai Gubernur DIY,” kata Sekretaris Fraksi PPP, Romahurmuziy, lewat surat elektronik, Kamis (2/12).

Ada tiga alasan mengapa Fraksi PPP mendukung pola penetapan Sultan menjadi gubernur. Pertama, secara histories, Yogyakarta dan Keraton memiliki peran vital dan tak tergantikan dalam eksistensi Republik Indonesia semasa perang kemerdekaan. Amanat Sultan Hamengkubuwono IX 5 September 1945, kata Romahurmuziy juga harus dimaknai dalam bingkai tata negara Indonesia.

Alasan kedua,  secara yuridis kekhususan dan keistimewaan DIY tercantum dalam UUD 1945. Sementara alasan sosiologisnya, terang Romahurmuziy, warga DIY secara sosiologis berada dalam kesatuan kultur, sangat mendukung mekanisme penetapan untuk kepala atau wakil kepala daerah. “Soal kekhawatiran Mendagri jika Sultan sudah udzur atau terlalu muda, harus diantisipasi dengan pasal yang mengatur perwalian dalam RUU DIY,” kata Romahurmuziy.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan H Djuwarto mengatakan, penetapan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu dari beberapa keistimewaan Yogyakarta.

"Keistimewaan Yogyakarta lainnya meliputi sejarah, budaya, dan pengeloalaan tanah," kata H Djuwarto di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu. Ia menjelaskan, dari aspek sejarah, Keraton Yogyakarta memiliki perjanjian dengan kolonial Belanda untuk tidak saling menyerang.

Pada saat terjadi agresi militer tahun 1948, ibukota negara Indonesia dipindah ke Yogyakarta dan Sultan Hamengku Buwono IX memberikan perlindungan kepada Pemerintah Republik Indonesia. "Presiden Soekarno kemudian memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta sebagai daerah istimewa dan menetapkan Sultan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang diatur dalam aturan perundangan," kata Djuwarto.

Menurut dia, masyarakat Yogyakarta juga menginginkan agar perpanjangan masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta melalui mekanisme penetapan dari pemerintah pusat.

Aspirasi masyarakat Yogyakarta mulai dari masyarakat awal hingga kaum intelektual, kata dia, disampaikan melalui DPRD Provinsi DI Yogyakarta yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan keputusan DPRD. "Keputusan DPRD agar perpanjangan masa jabatan Gubernur DI Yogyakarta melalui penatapan kemudian disampaikan kepada pemerintah pusat dan DPR RI. Keputusan tersebut hingga saat ini belum dicabut," kata Ketua DPRD DI Yogyakarta periode 2004-2009 ini.

Djuwarto juga mempertanyakan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebut, tidak mungkin ada monarki dalam negara demokrasi. Menurut dia, Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta yang dipimpin Sultan mematuhi semua aturan perundangan yang berlaku sehingga menjadi tidak mengerti jika disebut monarki.

"Persoalan utama pada suksesi di Yogyakarta bukan pada Sultan Hamengku Buwono X sebagai pribadi, tapi Sultan sebagai pengelola kelembagaan kesultanan," katanya.

Menurut dia, pada keistimewaan Yogyakarta yang paling prinsip adalah keberadan lembaga kesultanan yang dikelola oleh Sultan.

Kelembagaan kesultanan, kata dia, mengelola budaya dan tanah keraton yang luasnya mencapai 70 persen dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Tanah keraton ini diatur dalam UU Pokok Agraria dan menjadi salah satu keistimewaan Yogyakarta," katanya.

Jika pemerintah sampai mengusulkan suksesi di Yogyakarta melalui mekanisme pemilihan dan Yogyakarta tidak dipimpin oleh Sultan, menurut dia, maka lembaga kesultanan akan hilang dan keistimewaan Yogyakarta juga akan hilang.

Djuwarto mengimbau, agar dalam draf rancangan undang-undang (RUU) tentang Keistimewaan Yogyakarta yang akan disampaikan pwemerintah kepada DPR mengatur suksesi kepala daerah di Yogyakarta melalui mekanisme penetapan.

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya tidak mengotak-atik Sri Sultan Hamengku Buwono X karena dikhawatirkan akan memancing sentimen negatif masyarakat Yogyakarta.

"Sebaiknya SBY tidak mengotak-atik Sultan melalui proses perundangan, sekalipun sebagai pemerintah punya hak legislasi, karena dampaknya akan memukul balik SBY melalui gelombang emosional warga Yogyakarta," katanya di Jakarta, Rabu.

Apalagi, lanjut pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam di Malang dan Depok itu, jika wacana referendum di Yogyakarta semakin meluas.
"Kalau sampai referendum berjalan terus, akan berdampak luas terhadap keselamatan republik," kata Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) tersebut.

Menurut Hasyim, sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sebaiknya dibiarkan tetap seperti sekarang sebagai wujud keistimewaan daerah itu.

Ia menyatakan, tidak menjadi masalah jika Gubernur Yogyakarta bukan hasil pemilihan umum, dan hal itu juga tidak lantas berarti di Yogyakarta berlaku sistem monarki.

"Bukan hanya faktor historis dan jasa Kesultanan Yogyakarta kepada RI, tapi fakta yang ada bahwa Sultan memerintah DIY bersama DPRD yang dipilih langsung rakyat dan bersama-sama bertanggung jawab ke pemerintahan pusat, dimana monarkinya?," katanya.

Persoalan menyangkut keistimewaan Yogyakarta kembali mencuat setelah Presiden Yudhoyono dalam rapat kabinet pada 26 November 2010 menyatakan tidak boleh ada sistem monarki di Indonesia karena bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi.

Sultan pun mempertanyakan pernyataan Presiden tersebut karena ia merasa sistem pemerintahan yang dijalankan Provinsi Yogyakarta sama dengan yang dijalankan provinsi lain.

Mendagri Gamawan Fauzi di Jakarta, Rabu, menyatakan pernyataan Presiden telah ditangkap secara salah oleh sejumlah kalangan.
"Saat itu Presiden hanya memberi pengantar soal tiga aspek yang harus diperhatikan dalam pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta, yakni monarki, nilai demokrasi, dan konstitusi," katanya.

DPD RI telah menuntaskan penyusunan usul Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai usul inisiatif lembaga perwakilan tersebut.

"RUU tersebut dijadikan keputusan Sidang Paripurna DPD RI 26 Oktober 2010 yang disahkan sebagai RUU inisiatif DPD," kata Ketua Panitia Kerja RUU DIY Komite I DPD Paulus Sumino (anggota DPD asal Papua) saat konferensi pers di Pressroom DPD Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

Komite I DPD menyusun naskah akademik dan draft RUU DIY setelah sidang pleno Komite I DPD pada 30 Agustus 2010 menyepakati jika pemerintah hingga 20 September 2010 tidak atau belum menyampaikan RUU Keistimewaan DIY ke DPR, maka Komite I DPD mempersiapkan draft-nya.

Dia mengatakan, kemudian draft RUU DIY dilaporkan Komite I DPD saat Sidang Paripurna DPD pada 26 Oktober 2010. "Isu strategis RUU DIY versi DPD RI adalah menyepakati mekanisme kepemimpinan DIY tidak melalui proses pemilihan tapi penetapan, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono yang sedang bertahta (jumeneng) dan Sri Adipati Paku Alam ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY," katanya.

Paulus menegaskan, gubernur karena jabatannya berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, maka gubernur bertanggungjawab ke Presiden.

Dalam naskah akademik dan draft RUU DIY dinyatakan pemerintah mengukuhkan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

Mekanisme penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Adipati Paku Alam sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kasultanan dan Sri Adipati Paku Alam sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kadipaten, ditentukan sesuai tata cara di kesultanan dan kadipaten.

Gubernur dalam menjalankan tugasnya dibantu perangkat daerah Provinsi DIY. Gubernur bertanggungjawab terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi DIY di semua sektor pemerintahan, termasuk keistimewaan DIY serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

Sedangkan bupati dan walikota yang memimpin pemerintah kabupaten atau kota juga bertanggung jawab terhadap kebijakan di semua sektor pemerintahan.

Keistimewaan mencakup bidang kepemimpinan, kepemerintahan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan serta dan tata kelola pertanahan. Semuanya dilandasi nilai-nilai kearifan lokal dan kepemimpinan lokal yang memihak rakyat.

"Sri Sultan Hamengku Buwono selain pemimpin budaya tertinggi di kesultanan juga menjabat sebagai Gubernur DIY, sementara Sri Adipati Paku Alam selain pemimpin budaya tertinggi kadipaten juga menjabat sebagai Wakil Gubernur DIY," katanya.

Menurut dia, penyelenggaraan kepemerintahan DIY seperti ini bertujuan mengefektifkan dan mengefisienkan penyelenggaraan pemerintahan serta pelayanan publik didasari prinsip-prinsip partisipatif, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, kesetaraan dan penegakan hukum.

"Pelestarian dan pengembangan kebudayaan bertujuan memelihara dan mengembangkan hasil cipta, karsa dan karya seperti seni, budaya, adat istiadat dan tradisi yang mengakar di masyarakat DIY," katanya.

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Vernando Wanggai, meminta keistimewaan Yogyakarta ini tidak hanya dimaknai secara sempit pada rekrutmen kepala daerah saja. Filosofi utamanya adalah negara mengakomodasi prinsip keistimewaan Yogyakarta ke dalam sisi kewenangan yang luas dan kewenangan khusus.

Velix menyampaikan hal itu terkait sikap pemerintah pada Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. "UU DIY merupakan wujud nyata negara untuk mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa," katanya, Ahad (28/11).

Negara menghormati pula kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, adat, beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Pemerintah diletakkan dalam tiga visi besar, yaitu mengakui dan menghormati sejarah keistimewaan DIY, pilar NKRI yang diamanatkan dalam UUD 1945, dan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi.

"Prinsipnya yaitu bagaimana mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang dalam satu dekade di era reformasi ini," katanya. Pemerintah tidak ada maksud untuk membenturkan konteks sejarah dan tradisi dengan sistem demokrasi dan hukum.

Menurut Velix, RUU DIY justru akan semakin memperkuat pengaturan posisi keraton. "Keraton akan lebih strategis dalam konteks kelembagaan pemerintahan dan pembangunan daerah," katanya. Presiden, ujar Velix, memahami posisi kultural dan warisan tradisi.

Dalam Sidang Kabinet Terbatas, Jumat (26/11), Presiden mengatakan, "Kita adalah negara hukum dan demokrasi sesungguhnya. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan," kata Presiden. Sistem monarki, ujarnya, tentu tidak mungkin bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi.

"Kehadiran satu undang-undang yang tepat sungguh diperlukan," kata Presiden. Posisi dasar pemerintah berkaitan dengan RUU Keistimewaan DIY, ujarnya, adalah menggunakan pilar NKRI. Hal itu sudah diatur secara gamblang dalam Pasal 18 UUD 1945.

Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, mengatakan bahwa dirinya kaget atas pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebut monarki di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). "Kami sempat kaget atas pernyataan Presiden, kok bahasanya monarki," kata Priyo Budi Santoso, di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu.

Priyo menjelaskan, meskipun Presiden Yudhoyono menyebut monarki dalam pemerintahan DIY, namun dirinya tetap berpraduga baik pada presiden. Menurut dia, mungkin yang dimaksudkan Presiden Yudhoyono tidak sama dengan yang dipahami masyarakat.

Terhadap suksesi gubernur di DIY, menurut dia, sikap Partai Golkar mendukung penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam, karena hal itu merupakan bagian dari sejarah Yogyakarta. "Salah satu keistimewaan Yogyakarta adalah sejarahnya, yakni peran Sultan dari Keraton Yogyakarta sangat besar terhadap Pemerintah Republik Indonesia," katanya

Menurut Priyo, hendaknya pemerintah mengusulkan penetapan terhadap Gubernur DIY sejalan dengan sejarah daerah tersebut dan merupakan salah satu keistimewaan Yogyakarta. Apalagi, kata dia, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX masih sehat.

Presiden Yudhoyono mengatakan, sistem monarki jangan sampai berbenturan dengan konstitusi dan demokrasi. Presiden mengatakan hal itu, ketika menyampaikan pengantar pada rapat kabinet terbatas di Istana Negara, Jakarta, Jumat (26/11).

Akbar Tandjung: SBY dan Sultan Kurang Harmonis


Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ihwal sistem monarkhi dalam hierakhi demokrasi ditanggapi dingin oleh Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung menilai sikap dingin itu menunjukan hubungan Presiden SBY dan Sultan kurang harmonis

"Ketidakharmonisan itu bukan disebabkan karena Sultan HB X menjabat ketua dewan pertimbangan Nasional Demokrat (Nasdem). Saya tidak menilai sejauh itu," ungkap mantan ketua DPR ini saat menghadiri perayaan ulang tahun The Habibie Center ke 11 di Jakarta, Selasa (30/11). Akbar condong melihat ketidak harmonisan itu disebabkan kebijakan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak seiring sejalan dengan pemerintah pusat.

"Bisa jadi itu yang  mempengaruhi hubungan antara presiden dengan Sultan," kata Akbar. Akbar berpadangan, pemilihan kantor Gedung Agung terkait penanganan masalah di Yogyakarta juga menunjukkan adanya masalah komunikasi Presiden dengan Sultan. "Saya kira, ada yang salah dengan komunikasi," tutur dia. 



Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi meminta semua pihak meredam polemik soal keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Gamawan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak dihadap-hadapkan dengan Sri Sultan Hamengkubowono X.

“Jangan dihadap-hadapkan. Sebenarnya tidak ada konflik antara Sultan dan Presiden,” kata Gamawan, sebelum rapat dengan Komisi II DPR, Selasa (30/11).

Gamawan menerangkan, Pemerintah tengah berupaya menyusun suatu draf rancangan undang-undang (RUU) tentang DIY yang bisa berlaku untuk jangka waktu yang lama. Maksudnya, RUU DIY bisa berlaku untuk Sultan manapun yang memimpin DIY.

Dari tujuh keistimewaan yang diajukan Pemerintah, menurut Gamawan tinggal tata cara pemilihan gubernur yang belum final dalam draf RUU milik Pemerintah. Menurut Gamawan, Presiden mengacu pada UUD 1945 di mana gubernur dipilih secara demokratis, bukan ditetapkan. Namun, Presiden juga tidak menampik amanat Pasal 18 UUD 45, soal kekhususan dan keistimewaan DIY.

Gamawan melanjutkan, Pemerintah mempertimbangkan secara matang konstitusi untuk DIY. Status istimewa harus demi kepentingan rakyat namun tidak berbenturan dengan iklim demokrasi. Gamawan mengakui hingga kini masih banyak masukan pendapat soal keistimewaan DIY dalam RUU DIY. “Sedang kami finalkan (draf RUUDIY) dan akan segera kami kirim ke dewan,” tambah Gamawan



Tanggapan Zulfahmi
Saya dapat menarik kesimpulan, mengapa gunung Merapi senantiasa aktif menjadi ancaman keamanan bagi warga Jogyakarta, ternyata 70 % dari luas wilayah Provinsi Jogyakarta hak milik atas tanahnya ada pada sultan, sementara kegiatan memakmurkan tanah tersebut tidak baik dilaksanakan oleh sultan, ada banyak tanah kosong terlantar tanpa pohon, yang berfungsi sebagai penyeimbang alam. Di lain pihak maksiat terus berlangsung tak terbendung. 
Potensi bencana yang akan datang, jika sultan tidak segera menanam pohon yang ekonomis adalah negeri Jogyakarta akan terbelah/longsor/amblas tertimbun sehingga lenyap rata dengan tanah. Sultan perlu segera insyaf. Karena harta dan kekuasaan yang dimilikinya tidak ditangani dengan baik, yang akan menjadi pengundang datangnya bencana. Bencana yang akan terjadi ini bersifat pembasmian generasi keraton dan kaki tangannya yang masih hidup pada saat ini, berupa tanah longsor/terbelah/amblas tertimbun tanah, seperti yang dialami kaum Luth As. Hal ini terlaksana dengan rutinnya gunung merapi mengeluarkan larva. Kita sama-sama menunggu bila terjadinya.
Semoga sadarnya sultan tidak terlambat.

Tidak ada komentar: