Rabu, 22 Desember 2010

Tambora meletus 11-4-1815 pukul 18:59?











Gunung Tambora pernah tercatat sebagai gunung api tertinggi di Indonesia. Itu terjadi sebelum gunung tersebut meletus dahsyat pada 11 April 1815. Ketika itu puncak Gunung Tambora mencapai ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut. Bandingkan dengan daratan tertinggi di Indonesia saat ini, yakni Puncak Jayawijaya, Papua, yang berketinggian sekitar 3.050 m. Usai Tambora meletus hebat, daratan di bagian puncak itu dimuntahkan ke berbagai arah. Akibatnya, ketinggian gunung api yang masih tersisa tinggal setengahnya, yakni sekitar 2.851 m.

Letusan yang amat mengerikan itu juga menyisakan sebuah kaldera yang sangat besar. Bahkan, menurut catatan, ukuran kaldera tersebut paling luas di Indonesia. Bayangkan, kaldera tersebut memiliki diameter sekitar 7 km, panjang maksimal 16 km, dan kedalaman 1,5 km. 

Kini, gunung api yang secara administratif berada di dua kabupaten; Dompu dan Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu meninggalkan kisah ajaib, bukan saja di Indonesia namun juga berdampak hingga ke berbagai penjuru dunia. 


Sangat mencekam tragedi itu bermula pada 5 April 1815. Ketika itu kawasan di sekitar Gunung Tambora mulai bergetar. Getaran itu semakin menguat, klimaksnya pada 11 April 1815, pukul 18.59 waktu setempat. 
Letusan Gunung Tambora NTB
Pada malam hari, dari kejauhan Tambora memang benar-benar terang benderang lantaran api yang terus memancar dari puncak gunung tersebut. Suasananya sangat mencekam. Gunung itu seolah berubah menjadi aliran api yang sangat besar. Pada saat bersamaan, letusan itu juga memuntahkan gas panas, abu vulkanik, dan batu-batu ke arah bawah sejauh 20 km hingga ke laut. Desa-desa di sekitar Tambora pun musnah dilalap aliran piroklastik tersebut.
Menurut Haris Firdaus dalam bukunya berjudul Misteri-misteri Terbesar Indonesia (2008), tiga kerajaan kecil hangus dan hancur terkena lahar dan material letusan Gunung Tambora. Ketiga kerajaan itu adalah Pekat yang berjarak sekitar 30 km sebelah barat dari Tambora. Lalu, Kerajaan Sanggar berjarak 35 km sebelah timur Tambora, dan Kerajaan Tambora berjarak 25 km dari gunung tersebut. Hampir semua penghuni di tiga kerajaan tersebut tewas. 
Hanya dua orang yang berhasil selamat. Padahal, lokasi ketiga kerajaan itu tadinya sudah diusahakan cukup aman dari dampak letusan gunung api. Letusan Gunung Tambora juga membawa material longsoran yang sangat besar ke laut. Longsoran itu menimbulkan tsunami di berbagai pantai di Indonesia seperti Bima, Jawa Timur, dan Maluku. Ketinggian tsunami tersebut ditaksir mencapai 4 meter. Bukan hanya itu, ledakan dahsyat tersebut juga menebarkan abu vulkanik hingga ke Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bahkan bau nitrat juga tercium hingga ke Batavia (kini Jakarta).
Letusan Dahsyat gunung tambora NTB
Hujan besar disertai jatuhnya abu juga terjadi. Menurut para geolog, letusan itu merupakan bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Bayangkan, dibandingkan dengan letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada Agustus 1883, ledakan Gunung Tambora lebih dahsyat empat kali lipatnya. Letusan Gunung Tambora itu terdengar hingga ke Pulau Sumatera, Makassar, dan Ternate sejauh 2.600 km. Abunya juga diterbangkan sejauh 1.300 km dengan ketinggian 44 km dari permukaan tanah. Volume debu ditaksir mencapai 400 km3. Saking tebalnya debu-debu yang berterbangan di langit, sepanjang daerah dengan radius 600 km dari gunung tersebut terlihat gelap gulita selama dua hari. Maklum, sinar matahari tak mampu menembus tebalnya abu-abu tadi. Daerah paling menderita tentu saja yang berdekatan dengan lokasi Gunung Tambora.

Menurut ahli botani SwisS, Heinrich Zollinger, dalam seketika letusan ini menewaskan sekitar 10.000 orang. Setelah itu, jumlah kematian karena kelaparan di Sumbawa mencapai 38.000 orang dan di Lombok 10.000 orang. Sumber lain menyebutkan, letusan itu telah menyusutkan populasi penduduk Sumbawa hingga tersisa hanya 85.000 orang.

Jumlah Korban Meluas Bukan hanya itu. Jumlah korban tewas juga meluas hingga ke Pulau Bali, yakni mencapai 10.000 orang. Dampak berikutnya, sebanyak 49.000 orang tewas karena penyakit dan kelaparan.
Mengapa terjadi bencana kelaparan yang berkepanjangan? Ada beberapa sebab. Pertama, semua tumbuhan di Pulau Sumbawa ketika itu hancur total akibat tertutup abu tebal dan dilalap api. Kedua, selama dua minggu awan tebal masih menyelimuti daerah-daerah di sekitar Gunung Tambora, termasuk Bali. Dampaknya, banyak tanaman budidaya hancur dan gagal panen. Ketiga, partikel-partikel abu itu dalam jangka waktu lama masih berada di atmofer dengan ketinggian 10 – 30 km. Akibatnya, siklus iklim menjadi tak menentu dan petani pun tidak bisa memanen tanaman budidayanya. 
Kekacauan iklim juga melanda kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.

Setahun setelah letusan itu, pada 1816, kawasan tersebut mengalami tahun tanpa musim panas. Cuaca di kawasan tersebut berubah total. Maklum, partikel abu tadi masih membungkus atmosfer bumi sehingga menghalangi sinar matahari menerobos ke permukaan tanah. Paceklik pun melanda Kanada, AS, Inggris, dan lain- lain. Udara beku yang terjadi di negara-negara tersebut menghapuskan impian para petani. Penduduk pun kekurangan bahan makanan. Dampak terparah dialami Irlandia. Di sana curah hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas. Sekitar 65.000 orang mati kelaparan dan terkena wabah tipus. Wabah ini lalu menyebar ke Eropa dan menewaskan 200.000 orang. Letusan Gunung Tambora memang tragis. Letusan itu melenyapkan ratusan ribu manusia, baik mereka yang terkena dampak langsung maupun tak langsung. Kisah memilukan ini sesuai dengan nama Tambora yang berasal dari dua kata: ta dan mbora yang berarti ajakan menghilang. 

Menurut mitos yang berkembang, di masyarakat sekitar gunung percaya, kabarnya ada sekitar 4.500 pendaki, pemburu, dan penjelajah yang hilang. Mereka itu tak pernah ditemukan di Gunung Tambora yang kini diselimuti hutan dengan aneka bunga anggrek yang sangat mempesona.


NAPOLEONRAFFLES, dan TAMBORA. Letusan hebat Gunung Tambora pada April 1815 bukan saja melumat dan meluluhlantakkan tiga kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Lebih dari itu, nun jauh di daratan Eropa, tepatnya di Belgia, pasukan tentara di bawah komando penguasa Prancis, Jenderal Napoleon Bonaparte harus bertekuk lutut di tangan Inggris dan Prussia. 
2 bulan setelah Tambora meletus dahsyat, tepatnya pada 18 Juni 1815, pasukan Napoleon terjebak musuh. Pasalnya, di sepanjang hari itu cuaca memburuk. Hujan terus mengguyur kawasan tersebut. Padahal, tentara Prancis itu sedang menuju laga pertempuran. Akibat cuaca buruk, roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Semua kendaraan tak bisa melaju dengan mulus. Tanahnya licin, berselimutkan salju. Maklum, abu tebal dari letusan Gunung Tambora masih bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari yang jatuh ke bumi.


Perang Waterloo itu menjadi kisah tragis bagi Napoleon. Kehebatan Napoleon dalam menundukkan musuh-musuhnya berakhir sudah. Ia pun menyerah kalah. Jenderal itu lalu dibuang ke Pulau Saint Helena, sebuah pulau kecil di selatan Samudra Atlantik. Di pulau terpencil itulah ia menghabiskan waktunya hingga meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker. Kenneth Spink, seorang pakar geologi berteori, bahwa cuaca buruk akibat letusan Gunung Tambora menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon. Pada pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (1996), Spink mengatakan bahwa letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk cuaca buruk di Waterloo pada Juni 1815. 


Di Yogyakarta, letusan Tambora mengagetkan Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa yang berkuasa pada tahun 1811-1816 itu tadinya mengira ledakan itu berasal dari suara tembakan meriam musuh. Wajar saja demikian karena ketika itu teknologi komunikasi (telegram) memang belum tercipta sehingga letusan itu tak bisa disampaikan ke berbagai penjuru daerah dalam waktu yang relatif cepat. Takut diserang musuh, Raffles pun lalu mengirim tentara ke pos-pos jaga di sepanjang pesisir untuk siap siaga. Perahu-perahu pun disiagakan. Apa boleh buat, dugaan Raffles keliru. Tiada serangan musuh. (Sumber: ngobrol.com)

Setelah sempat 'batuk-batuk' pada 11 April 1815, Gunung Tambora di Sumbawa meletus dahsyat, 7  pada skala Volcanic Explosivity Index. Terbesar dalam sejarah. Getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil.

Jutaan ton abu dan debu muncrat ke angkasa. Akibatnya sungguh dahsyat, tak hanya kehancuran dan kematian massal yang terjadi di wilayah Hindia Belanda, efeknya bahkan mengubah iklim dunia. Petaka dirasakan di Eropa dan Amerika Utara. Tahun 1816 dijuluki 'The Year without Summer', tak ada musim panas di tahun  itu.

Letusan Tambora juga mengakibatkan gagal panen di China, Eropa, dan Irlandia. Hujan tanpa henti selama delapan minggu memicu epidemi tifus yang menewaskan 65.000 orang di Inggris dan Eropa. Kelaparan melumpuhkan di Inggris.

Kegelapan menyelimuti Bumi, menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, 'Darkness' atau 'Kegelapan' karya Lord Byron, 'The Vampir' atau 'Vampir' karya Dr John Palidori dan novel 'Frankenstein' karya Mary Shelley.

Tambora juga jadi salah satu pemicu kerusuhan di Perancis yang warganya kekurangan makanan. Juga mengubah sejarah saat Napoleon kalah akibat musim dingin berkepanjangan dan kelaparan pada 1815 di Waterloo

Meski sudah tak lama aktif, Tambora masih menarik perhatian. Astronot Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), pada tahun 2009, NASA mengabadikan kaldera Tambora dari luar angkasa.

Kaldera Tambora berdiameter 6 kilometer dan sedalam 1.100 meter. Kawah ini terbentuk saat Tambora yang saat itu tingginya sekitar 4.000 meter kehilangan puncaknya dan ruang magma dikosongkan dalam letusan dahsyat tahun 1815.

Dalam foto NASA, tampak kawah Tambora menjadi danau air tawar, yang juga diisi aliran lava minor dan kubah dari abad ke-19 dan ke-20.

Deposit tephra -- material campuran letusan gunung berapi -- bisa dilihat dari sepanjang pinggiran kawah barat laut. Fumarol aktif atau ventilasi uap, masih eksis di kaldera Tambora.

Pada tahun 2004, para ilmuwan menemukan sisa-sisa peradaban kuno dan kerangka dua orang dewasa yang terkubur abu Tambora di kedalaman 3 meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya 'diawetkan' oleh dampak letusan dahsyat itu.
Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius di abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora punah ibarat "Pompeii di Timur."
Pompeii adalah nama kota Romawi di dekat Naples, Italia yang disapu oleh letusan dahsyat Gunung Vesuvius. Kota tersebut terkubur di bawah timbunan abu raksasa dan lenyap selama 1.600 tahun sebelum ditemukan kembali secara tidak disengaja.
Foto lawas dampak letusan Tambora di Amerika Serikat (Maurice Morley | Saratogian.com)
VIVAnews - Sore itu, 5 April 1815, Gunung Tambora di Sumbawa sudah menunjukkan gejala tak beres. Tambora 'batuk -batuk' dan bergemuruh.

Beberapa hari kemudian, pada 11 dan 12 April letusan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. Gunung besar itu meletus,  getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil, memuntahkan lava dan batuan gunung.

Jutaan ton abu dan debu muncrat ke angkasa. Akibatnya sungguh dahsyat, tak hanya kehancuran dan kematian massal yang terjadi wilayah Hindia Belanda, efeknya bahkan mengubah iklim dunia. Petaka dirasakan di Eropa dan Amerika Utara.

Sebuah koran lokal di Amerika Serikat, The Saratogian, 15 Agustus 2010. memuat cerita sejarahwan, Maurice Morley tentang nestapa yang disebabkan meletusnya Gunung Tambora.

Menurut Morley, salah satu untuk tetap tenang menghadapi panasnya cuaca, kondisi berkabut, lembabnya malam saat ini adalah mengingat 'The Year of Summer' atau 'tahun tanpa musim panas', ketika suhu sangat dingin, manusia dan hewan membeku, panen gagal, dan orang-orang ketakutan mengira saat itu akhir dunia akan segera tiba.

Menurut sebuah artikel surat kabar lama, tumpukan salju hampir setinggi satu kaki turun di Ballston Spa, AS selama. Penduduk membundel tubuhnya dari kepala sampai kaki.

Meski demikian, ada saja yang tewas membeku. Beberapa orang bahkan memilih  bunuh diri karena yakin Matahari sedang membeku dan Bumi akan segera hancur.

"Angin yang bertiup Juni, Juli, Agustus 1816 terus bertiup dari utara, keras, dan dingin," demikian dilaporkan surat kabar lawas tersebut.

Meski tanaman mati, petani tetap bercocok tanam, dengan sarung tangan, mereka menebar benih jagung.

"Selama Juli-Agustus, tumpukan salju makin tinggi. Pada 30 Agustus bahkan ada badai besar. Hanya ada kesuraman sepanjang musim panas itu, tidak ada pemandangan hijau di manapun."

Dikutip dalam koran itu, sebuah cerita bagaimana seorang wartawan, James Winchester menemukan pamannya tewas terkubur dan kaku di salju saat mencari dombanya.

Meski suhu sempat menghangat di bulan September, rasa takut tetap mendera, bahkan di hati orang beriman sekalipun.

Seorang pria tua, James Gooding, teramat sangat putus harapan. Dia membunuh semua sapinya, lalu menggantung diri. Dia bahkan menganjurkan hal yang sama pada istrinya. Alasannya, menghindari kematian karena dingin dan kelaparan, yang ia yakini tak terelakan. (umi)
Pada 5 April 1815 sore, gunung berapi Tambora mulai bergemuruh dan 'batuk -batuk'. Kondisi ini terjadi dalam beberapa hari.
Beberapa hari kemudian, pada 11 dan 12 April letusan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. Gunung besar itu meletus, getarannya mengguncangkan bumi hingga jarak ratusan mil.

Selama lebih dari 10 hari kemudian, Tambora mengeluarkan 24 kubik mil (1 mil = 1,6 kilometer) lava dan bebatuan gunung. Saking dahsyatnya, di puncak Tambora tercipta kawah selebar tiga mil dan dalamnya hampir 1 mil.

Lelehan lava panas, batu yang berterbangan, dan gas mematikan yang keluar dari perut Tambora saat itu menewaskan puluhan ribuan orang.

Jutaan ton abu dan debu memenuhi udara, mengubah siang hari menjadi gelap gulita. Debu tebal menyelimuti wilayah kaki gunung dan bahkan Bali.

Debu menutup semua vegetasi di Pulau Bali dan menyelimuti lautan. Sekitar 117.000 orang di wilayah yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda tewas. Banyak dari mereka terkena imbas letusan,  jadi korban kelaparan dan penyakit.

Itu baru permulaan.

Badan Geologi Amerika Serikat atau US Geological Survey bahkan menobatkan letusan Tambora sebagai "yang terkuat sepanjang sejarah".

Letusan Tambora bahkan lebih dahsyat dari Krakatau. Menurut data Volcanic Explosivity Index (VEI), indeks letusan gunung yang mirip skala Richter untuk mengukur kekuatan gempa.

Perhitungan VEI ada pada skala 1 hingga 8, setiap satu angka adalah 10 lebih besar dari sebelumnya. Tambora ada di level tujuh, Krakatau enam. Ini berarti Tambora lebih kuat 10 kali lebih besar dari letusan Krakatau.

Tak terbayang jika Tambora meletus di era ini. Seperti meriam raksasa, tambora menyemburkan abu, debu, dan setidaknya 400 juta ton gas sulfur ke udara, hingga 27 mil tegak lurus ke strastofer, jauh di atas awan cuaca.

Ini mengakibatkan ledakan di lapisan troposfer -- lapisan terdekat dari permukaan Bumi, di mana awan, angin, dan hujan, serta 75 persen dari berat atmosfer berada.

Semburan Tambora juga menyobek lapisan tipis ozon yang melindungi Bumi dari radiasi sinar matahari.

Karena daya tarik grafitasi yang ringan di angkasa, abu dan debu Tambora melayang dan menyebar mengelilingi dunia. Debu Tambora menetap di lapisan troposfer selama beberapa tahun dan turun melalui angin dan hujan kembali ke Bumi.

Letusan Tambora berakibat luar biasa. Gagal panen di China, Eropa, dan Irlandia. Hujan tanpa henti selama delapan minggu memicu epidemi tifus yang menewaskan 65.000 orang di Inggris dan Eropa. Kelaparan melumpuhkan di Inggris.

Kegelapan menyelimuti Bumi, menginspirasi novel-novel misteri legendaris misalnya, 'Darkness' atau 'Kegelapan' karya Lord Byron, 'The Vampir' atau 'Vampir' karya Dr John Palidori dan novel 'Frankenstein' karya Mary Shelley.

Tambora juga jadi salah satu pemicu kerusuhan di Perancis yang warganya kekurangan makanan. Juga mengubah sejarah saat Napoleon kalah akibat musim dingin berkepanjangan dan kelaparan pada 1815 di Waterloo.
Pendapat Zulfahmi
Dahsyatnya letusan gunung Tambora mungkin mirip dengan cuaca dingin dan kuatnya suara petir yang mematikan di zaman Nabi Hud As, rasul ke-2 setelah Adam As, yang juga memusnahkan kaum 'Ad.

Peristiwa lainnya
8000 tahun lalu, sebuah gunung api menyebabkan salju longsor di Sisilia dan terjun bebas ke laut. Gelombang berkecepatan 200 mil per jam itu memicu tsunami penghancur yang menyebar di seluruh laut Mediterania.

Tidak ada catatan sejarah mengenai kejadian tersebut. Yang ada hanya catatan geologis, tetapi para ilmuwan mengatakan bahwa tsunami yang sempat terjadi tersebut lebih tinggi dari gedung tingkat 10.

1 November 1755, setelah gempa bumi kolosal menghancurkan Lisbon, Portugal dan pegunungan di Eropa, orang menyelamatkan diri dengan menggunakan perahu. Namun Tsunami akhirnya menyusul. Peristiwa mengerikan secara bersamaan tersebut membunuh lebih dari 60 ribu orang.

27 Agustus 1883, letusan gunung Krakatau memicu terjadinya tsunami yang menenggelamkan 36 ribu orang Indonesia yang berada di pulau Jawa bagian barat dan utara Sumatera. Kekuatan gelombang mendorong 600 ton blok terumbu karang menuju tepi pantai.

15 Juni 1896, gelombang setinggi 30 meter, disebabkan oleh gempa bumi menyapu pantai timur Jepang. Sebanyak 27 ribu orang menjadi korban.

1 April 1946, tsunami April Fool, dipicu sebuah gempa yang terjadi di Alaska, membunuh 159 orang, kebanyakan berada di Hawaii.

9 Juli 1958, diingat sebagai tsunami terbesar yang pernah dicatat oleh masa modern, Gempa di Teluk Lituya Alaska disebabkan oleh tanah longsor yang awalnya dipicu oleh gempa bumi berskala 8,3 skala richter. Gelombang sangat tinggi, tetapi karena wilayah tersebut relatif terisolasi dan kondisi geologinya unik maka tsunami tidak menyebabkan banyak kerusakan. Tapi hanya menenggelamkan satu perahu dan membunuh dua orang pelaut.

22 Mei 1960, salah satu gempa besar yang tercatat manusia terjadi di Chile sebesar 8,6 skala richter, menciptakan tsunami yang menerjang pantai Chile dalam waktu kurang dari 15 menit. Gelombang setinggi 25 meter membunuh 1500 orang di Chile dan Hawaii.

27 Maret 1964, dikenal sebagai gempa bumi Good Friday Alaska, dengan kekuatan sekitar 8,4 skala richter menggulung dengan kecepatan 400 mil per jam tsunami di Valdez Inlet dengan ketinggian 67 meter, membunuh lebih dari 120 orang. Sepuluh orang yang menjadi korban di kota Crescent, di utara California, yang sempat menyaksikan gelombang setinggi 6,3 meter.

23 Agustus 1976, sebuah tsunami di barat daya Filipina membunuh 8 ribu korban gempa bumi.

17 Juli 1998, sebuah gempa berkekuatan 7,1 skala richter menyebabkan tsunami di Papua Nugini yang membunuh 2200 orang dengan sangat cepat.

26 Desember 2004, gempa kolosal dengan kekuatan 9,1 dan 9,3 skala richter mengguncang Aceh, Indonesia dan membunuh 230 ribu jiwa, sebagian besar karena tsunami. Gempa tersebut dinamakan sebagai gempa Sumatera-Andaman dan tsunami yang terjadi kemudian dikenal sebagai tsunami lautan Hindia. Gelombang yang terjadi menimpa banyak belahan dunia lain, hingga Nova Scotia dan Peru.